Angin menyapu lembut setiap helai rambut Dirga. Mata sayu itu tampak menatap tajam aspal berlubang di jalan raya. Sesekali menarik napas dan membayangkan jalan hidupnya seperti jalan aspal berlubang itu. Tiga tahun setelah berusia kepala dua membuat pikirannya tersadar bahwa bom waktu terus berjalan. Jika usaha dan semangatnya hanya sekecil ini, tentu akan muncul banyak kesusahan dalam beberapa bulan lagi. Namun, lamunannya seketika terpecah ketika Andi menghampirinya.
"Dirga, tumben masih di sini? Ada apa? Judul udah aman kan? Punya gue masih banyak yang salah nih."
"Nggak ada apa-apa." Dirga memalingkan pandangannya dari Andi.
"Apa lu masih kepikiran tentang skripsi? Masih banyak kok yang belum fokus ngerjain skripsi, lagian masih semester 7. Baru awal-awal banget. Masih ada tuh yang sibuk mikirin KKN, kita enak udah dapat nilainya hasil dari ikut program pemerintah. Santai aja."
Andi mencoba menebak isi pikiran Dirga. Kondisi kampus dengan berbagai macam programnya membuat beberapa mahasiswa kesulitan untuk lulus di semester 7 tanpa mencoba cara alternatif seperti program pendidikan dari pemerintah yang menggantikan nilai KKN dan beberapa syarat mata kuliah dengan waktu yang singkat. Namun, hal yang tidak diketahui oleh Andi bahwa Dirga sudah kehabisan waktu.
Dirga menyesal meninggalkan kampus lamanya dan kehilangan waktu satu setengah tahun menjadi seorang mahasiswa. Namun, hal tersebut dilakukannya agar tidak membuang uang yang telah diberikan oleh orang tuanya lebih banyak lagi karena kapasitasnya yang tidak mampu mengimbangi tuntutan mata kuliah di program studi.
Di kampusnya yang baru, dia bahkan mampu menginjak semester akhir. Namun, kedua orang tuanya bukanlah orang yang memiliki banyak harta. Dirga juga memiliki seorang adik yang masih dibiayai oleh kedua orang tuanya. Masa kuliahnya yang kedua ini mungkin hanya bertahan sampai semester delapan atau bahkan tujuh.
Jika tidak diselesaikan dengan segera, maka antara adiknya atau Dirga sendiri yang harus memutus masa pendidikannya. Dirga yang mendengar ucapan Andi itu hanya bisa mengiyakan tanpa membicarakan masalah yang dihadapinya.
Alasannya sederhana, Dirga berpikir bahwa sudah sewajarnya seorang mahasiswa menyelesaikan tugas akhirnya. Hal itu bukan sesuatu yang perlu untuk diceritakan, tetapi mungkin akan membuatnya tampak seperti seorang mahasiswa yang ambisius dalam menyelesaikan tugas akhirnya.
"Duh, pusing!" ujar Dirga ketika sampai di kamarnya.
Dia hanya bisa memandang langit-langit kamar dan berpikir cara menyelesaikan skripsinya dengan cepat. Sesekali Dirga memandang layar ponselnya untuk sekedar ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh teman satu angkatannya. Ternyata, tidak jauh berbeda dengan beberapa hari dan minggu sebelumnya. Hanya wajah senyum gembira dan tempat-tempat liburan yang menyenangkan. Namun, ada juga yang sedang mengerjakan skripsi.