Ramai jagat dunia maya mempersoalkan tentang lisensi rumah makan Padang yang sudah memiliki penikmat hingga luar negeri tersebut. Masakan Padang adalah salah satu warisan kuliner Indonesia yang sudah mendunia. Label "masakan Padang" menjadi daya tarik tersendiri bagi para penikmat kuliner di dalam negeri hingga wisatawan asing. Berbeda dengan masakan tradisional lainnya yang juga merebak di mana-mana, "masakan Padang" yang disajikan di rumah makan Padang menjadi destinasi bisnis kuliner yang menjanjikan pula untuk orang yang berbeda sukunya. Hampir di setiap kota besar di Indonesia bisa ditemukan rumah makan Padang.
Jika kita perhatikan secara seksama, sesama Rumah Makan Padang memiliki segmen pasar yang tidak sama. Rumah makan Padang yang terletak di pusat-pusat kota dan tempat pemberhentian besar memiliki ciri khas membidik segmen pasar premium. Rumah makan Padang jenis ini biasanya memiliki lahan parkir yang luas, pegawai berseragam dan cara penyajian yang unik yaitu menyajikan semua menu pilihan di meja pelanggan. Sedangkan rumah makan Padang non Premium meskipun berbeda, juga bisa kita temukan di kota-kota besar dengan jumlah pelanggan yang tidak kalah banyaknya.
Kekhawatiran saudara-saudara kita dari Sumbar ini bisa jadi dikarenakan ada perbedaan yang mencolok dalam hal cita rasa maupun standar antara Rumah Makan Padang Premium dengan yang bukan premium. Penempelan stiker Ikatan Keluarga Minang (IKM) pada beberapa rumah makan Padang di beberapa kota besar adalah ikhtiar yang mungkin saja bermaksud menjaga mutu. Seperti kita ketahui bahwa siapapun yang memiliki modal cukup, bisa bebas membuka rumah makan Padang dimanapun. Jika rumah makan Padang itu mampu menjaga cita rasa seperti rumah makan Padang lainnya maka tidak akan banyak menimbulkan masalah meskipun yang membuka rumah makan Padang bukan orang Minang.
Tindakan penempelan stiker IKM yang menjadi alat verifikasi untuk Rumah Makan (RM) Padang yang lulus tes akan mengakibatkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya bisa jadi semua RM Padang yang memiliki stiker akan memiliki standar yang sama dan memotivasi RM Padang lainnya agar memenuhi standar yang sudah ditentukan. Sedangkan dampak negatifnya adalah Tindakan itu akan menimbulkan masalah serius seperti : Seberapa akuntabelnya tim verifikasi karena tidak semua RM Padang yang membidik segmen pasar premium memiliki cita rasa yang lebih baik dibandingkan dengan yang non premium. Timbul konflik horizontal antara sesama orang Minang yang dianggap tidak memiliki standar Rumah Makan Padang.
Jika RM Padang mau belajar pada warung Tegal (warteg), maka permasalahannya akan lebih sederhana. Seperti halnya RM Padang, Warung Tegal pun memiliki permasalahan yang sama dalam hal pengendalian mutu. Menjamurnya Warteg dimana-mana ternyata standarnya tidak sama. Apakah yang mereka lakukan? Mereka membuka warteg 24 jam dan menampilkan wajah warteg yang sama, baik dari segi cita rasa maupun pelayanan. Mereka mengidentifikasi warung nya dengan warna cat (hijau) dan terang lampu yang sama. Akhirnya para pelanggan lah yang menjadi jurinya. Jika cita rasa warteg 24 jam tidak sesuai dengan selera para pembeli, maka mereka akan ditinggalkan demikian juga sebaliknya.
Dari kasus diatas, jika kita berbicara tentang kuliner dalam ruang lingkup lokal, maka label premium (stiker maupun franchise) tidak akan banyak memberikan pengaruh apalagi ditengah daya beli masyarakat seperti sekarang ini. Sebuah rumah makan akan bertahan apabila sudah membuktikan bahwa cita rasanya pas, harganya terjangkau dan mudah diakses. Mau ada stiker atau tidak, mau 24 jam atau tidak, jika sudah memenangkan hati para pelanggan maka akan menjadi favorit.
Andriono Kurniawan M.Pd, Ketua GML provinsi Banten,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H