Lihat ke Halaman Asli

Jokowi, Sandi, dan Genderuwo Ekonomi

Diperbarui: 12 November 2018   20:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tibunnews.com

Jagat dedemit gempar. Genderuwo, salah satu jenis lelembut, mendadak viral. Popularitasnya pecah membahana. Karakternya dipergunjingkan dimana-mana. Meme tentangnya ramai menghiasi lini masa. Tumben-tumben, genderuwo jadi trending topic. Tapi bukan di alam mereka. Melainkan di bumi manusia. Khususnya di Indonesia. Lebih khusus lagi di Jakarta.

Lantas, siapa yang berjasa melambungkan watak genderuwo hingga setenar itu? Ya, betul: Presiden Jokowi. Semua bermula dari pidato pembagian sertifikat tanah oleh RI-1 di Tegal, Jawa Tengah, baru-baru ini. Di sanalah, Jokowi mempromosikan 'politik genderuwo'. Sebuah frasa tentang politik propaganda. Jelasnya, propaganda menebar ketakutan, kecemasan, was-was, dan ketidakpastian yang gemar dilantunkan para politisi, termasuk lawan politik Jokowi. Agitasi model ini juga lekat dengan istilah Firehose of The Falsehood. Suatu teknik kampanye ala Donald Trump. Untuk membunuh akal sehat publik di AS. Dan, teknik itu terbukti jitu. Hillary terjungkal.

Frasa 'politik genderuwo' hanyalah sebentuk kegundahan Jokowi. Atas maraknya narasi cemas yang disemburkan secara masif. Atas gegap-gempita hoaks yang diedarkan secara padu. Oleh mereka yang hobi tawuran di media sosial. Oleh mereka yang hendak mendulang margin elektoral di Pilpres 2019. Lewat modus memainkan politics of fear.

Namun, jangan lupa, Jokowi juga seorang pemancing ulung. Seperti gampang diduga, umpan recehnya disambar rakus kelompok sebelah. Sandiaga, Cawapres 02, tampak gesit melahap isu genderuwo. Kecuali gesit, bukan Sandi namanya kalau tak cerdik. Istilah 'politik genderuwo' ia modifikasi. Menggesernya ke dalam spektrum isu ekonomi. Sehingga muncullah terma 'genderuwo ekonomi'.

Nah, bagi saya, diksi modifikasi ala Sandiaga itu lebih menarik diulas. Pun, memang, lebih dalam memeriksa 'genderuwo ekonomi' sungguh menggoda. Apalagi, Sandi mengaitkannya dengan kata mafia dan rente. "Politik genderuwo itu yang berkaitan dengan ekonomi rente, mafia ekonomi, mafia pangan, atau mafia lainnya sebagai genderuwonya ekonomi," begitu beber Sandiaga, dilansir detikcom, Jumat (9/11).

Arah Telunjuk Sandi

Bila dibaca lebih cermat, telunjuk Sandi yang bertuliskan 'genderuwo ekonomi' itu tampak jelas mengarah ke petahana. Ke pemerintah. Wabilkhusus ke Jokowi. Meskipun, syak wasangka Sandi tersebut tidaklah mengagetkan. Apalagi ini musim kampanye. Mulutnya terhitung wajar bilang begitu. Normal belaka.

Tapi, apapun, secara substantif, dakwaan Sandi ini perlu diperiksa. Secara sidik-midik, saksama, dan teliti. Bahkan wajib diluruskan bila hanya bualan. Benarkah ekonomi Indonesia disesaki genderuwo? Bidang apa saja yang disusupi dedemit? Juga, adakah bukti sektor pangan dihinggapi memedi?

Hmmm.... Tidak mudah menjawabnya secara singkat. Yang pasti, mafia pangan tak pernah dibantah keberadaannya. Bahkan, diakui sudah empat dekade menggurita. Sejak oligarki Orde Baru berjaya. Senantiasa beroperasi dalam ruang samar. Bersembunyi di kamar gelap ekonomi pasar. Sehingga terang-benderang, bukan di era Jokowi mereka lahir, apalagi dibina. Justru sebaliknya, di zaman Jokowi-lah, satu demi satu mereka ditumpas. Oleh aparat hukum, utamanya Satgas Mafia Pangan.

Performa Satgas bentukan Mabes Polri itu terdeteksi cukup cemerlang. Tak kurang dari 373 kasus pangan berhasil dibongkar. Meliputi 21 kasus komoditas hortikultura, 12 kasus pupuk, 66 kasus beras, 23 kasus ternak dan 247 kasus pangan lainnya. Sudah 409 orang ditetapkan tersangka. Sudah 10 importir bawang putih dan 5 importir bawang merah masuk daftar hitam.

Keberadaan Satgas Mafia Pangan adalah kode keras bagi para bandit pangan. Yang selama ini menggaruk fulus gede dari otak-atik ketidakseimbangan demand-supply. Mereka bekerja dalam kartel. Berburu rente di kegiatan impor. Sesekali melumpuhkan distribusi. Hobi menggelar spekulasi, penimbunan dan bahkan mengoplos sejumlah bahan pokok. Akibatnya, jerih-payah petani muspra. Produksinya mangkrak. Tak terserap pasar. Konsumen pun merugi. Karena harga-harga melambung tinggi. Pada gilirannya, kinerja pasar menjadi tak kompetitif, tak efisien.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline