Lihat ke Halaman Asli

Tu’u Pendidikan Rote

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belza S Hayon bangga membaca SMS anaknya, Soli menceritakan bahwa ia akan menyelesaikan tugas akhir kuliahnya.

Balza S Hayon ( 35 th ) pendatang dari Alor yang beristri orang Rote sangat bersyukur saaat anaknya Soli Aryanti Hayon kelahiran 1986 bisa menyelesaikan SMA nya dan melanjunya ke perguruan tinggi.

Ia terkenang saat klas 1 SD Soli berkenalan dengan Yayasan Wahana Visi Indonesia Area Development Program Rote ( YWVI - ADP Rote = suatu yayasan social yang peduli terutama dalam kesejahteraan anak ) dan menjadi anak santunnya. Berkat  YWVI- ADP Rote lah Soli bisa menyelesaikan pendidikannya hingga SMA termasuk dukungan saat berkuliah di Kupang.

Beberapa tahun lalu anak pertama dari 6 bersaudara itu ingin melanjutkan sekolah keguruan di suatu Perguruan Tinggi  di kota Kupang.  Ia sadar orang tuanya yang tukang ojek dan ibunya yang membuka kios di depan rumah pasti tak akan mampu membiayainya. Namun tekadnya bulat dan Soli nekad mendaftar di Unkris Kupang dan tinggal di rumah keluarganya. Usahanya tak sia sia, Soli diterima di fakultas keguruan yang diinginkannya.

Pemborosan Pesta Adat Kematian dan Tu'u Belis

Banyak anak yang punya tekad seperti Soli namun tak semua bisa mewujudkan impiannya. Budaya Rote dalam pemborosan pesta adat kematian  sangatlah tinggi. Puluhan ekor sapi ( sampai 40 an ekor ) bisa dipotong untuk pesta kematian yang merupakan pemberian dari tetangga maupun kerabat yang merupakan hutang keluarga duka pada si pemberi. Belum terhitung hewan kecil seperti babi. Hal ini menjadikan hutang yang turun menurun.

Seperti halnya budaya Tu'u Belis pada upacara pesta kawin dimana si tuan pesta akan mengundang tamu dalam acara kumpul tangan dan si tamu akan memberi komitmen menyumbang sejumlah uang / hewan saat menjelang pesta nikah yang akan diselenggarakan.  Kemudian disajikan makanan dan pulangnya dibawakan potongan daging yang cukup besar. Dan jika pada saatnya pernikahan seperti yang direncanakan tuan pesta dan si tamu yang pernah memberi komitmen tak mampu memberikan sejumlah uang maka dikenakanlah sanksi adat. Dan inilah yang merupakan hutang turun menurun karena pesta adat kematian maupun pesta pernikahan tak hanya sekali saja dalam setahun. Belum lagi tu'u untuk membangun rumah, membeli motor, dan  hal konsumtif lainnya.

Masalah Tu'u Belis ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Tu'u Belis bisa berdampak pada kesenjangan ekonomi karena ada kelompok social yang bisa memanfaatkan keuntungan dari situasi tersebut selain bisa berakibat masyarakat saling behutang. Kondisi ini masih ada di sebagian besar masyarakat Rote sehingga bukan tak mungkin terjadi kemiskinan bersama ( shared poverty ). Kerja keras masyarakat hanya untuk membayar hutang secara turun menurun

Revitalisasi Budaya

John Ndolu ( 48 tahun ) staf YWVI-ADP Rote yang kemudian terpilih menjadi "Maneleo" atau raja kecil di Leo Kunak memahami dampak dari budaya pemborosan itu. John Ndolu yang terbuka wawasannya karena berbagai pelatihan yang didapat akhirnya berusaha memodifikasi budaya dan bukan menghapusnya.

Tak henti-hentinya dia berusaha mensosialisasikan pentingnya hidup hemat sehingga tak ada hutang yang turun menurun. Akhirnya Leo Kunak menyepakai untuk penyederhanakan pesta adat kematian dan tu'u belis. Tak perlu memotong sedemikian banyak hewan korban. Hewan yang dipotong secukupnya saja saat pesta ucapan syukur kematian.  Dan saat adat kumpul tangan yaitu mengumpulkan kerabat cukup menyajikan kue saja sehingga terjadi penghematan besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline