Lihat ke Halaman Asli

Presiden Kita Siapa?

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebingungan menjadi milik khalayak ramai, tidak hanya bicara elit politik atau tim sukses saja tetapi sudah merasuk kepada masyarakat dengan bantuan media baik penyiaran, cetak ataupun media daring. Pokok kebingungannya tentu berkaitan dengan perhitungan hasil pasca pencoblosan tanggal 9 april 2014 lalu. Secara pribadi awalnya berharap bahwa di tanggal tersebut, segala macam perbedaan dan tindakan saling menekan antara dua pihak yang mendukung calon presiden dan wakil presiden masing-masing akan reda. Terutama dua media televisi yang begitu gencar menjadi bagian penting dalam proses kampanye untuk menebar harapan dengan berbagai program untuk meraih hati masyarakat dan memantapkan masyarakat dalam menjatuhkan pilihan hak politiknya.

Ternyata kenyataan berbicara lain, pasca pencoblosan di hari rabu yang cerah itu. Perseteruan media televisi semakin meruncing. Karena masing-masing menampilkan hasil yang berbeda dan bertolakbelakang. Media televisi ini begitu getol dan haqul yakin bahwa jagonya sebagai pemenang berdasarkan hasil quick count yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey masing-masing. Nah yang semakin rumit adalah para pasangan calon presiden dan wakil presidenpun mendeklarasikan kemenangan versi quick count ini dengan penuh sukacita seolah-olah pertandingan sudah selesai. Akibatnya apa?...... masyarakat menjadi bingung.

Saya tidak akan membahas elemen lain yang bingung, karena mungkin analisisnya berbeda. Sebagai bagian dari masyarakat dan berinteraksi langsung dengan masyarakat keseharian betapa aura kebingungan tersebut menjadi merata dan tidak pandang bulu. Dalam satu hari pasca 9 juli, mulai dari tukang sayur langganan, tukang koran, teman kantor, satpam dan office boy kantor, customer service bank, satpam kompleks perumahan, tukang loundry keliling, pa RW yang kebetulan tetangga terdekat hingga tukang  sampah depan rumah pada saat disapa dan berbasa basi maka muncul pertanyaan senada, “Jadi presiden kita siapa?”

Memang mungkin tidak mewakili seluruh masyarakat, tapi minimal menjadi cerminan masyarakat disekitar saya. Apakah seperti jumlah TPS sampel quick count versus jumlah TPS real?... entahlah. Yang penting secara pribadi berusaha keras keluar dari semua kebingungan, menghindari perang opini yang begitu memabukkan. Apalagi jiga menengok media sosial, halaman facebook dan twitter begitu jelas memihak masing-masing jagonya. Padahal......

Padahal sudah jelas dari awal bahwa lembaga yang berwenang untuk menyelenggarakan pemilihan umum presiden dan wakil presiden adalah Komisi Pemilihan Umum, titik. Sehingga mekanisme tahapan dan aturan KPUlah yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan pemilihan presiden ini. Jadi saya coba menyampaikan kepada sebagian kecil masyarakat disekitarku tadi bahwa hasil perhitungan quick count bukan segalanya, bukan dasar untuk menentukan kemenangan. Itu adalah salah satu metode untuk “memperkirakan” suara kemenangan dan tidak mutlak. Kalaupun dibandingkan dengan pemilu legislatif ataupun pemilihan kepala daerah ternyata ada yang tepat dan akurat, itu hal wajar karena ilmu statistika bertujuan untuk “medekati” hasil real dalam berbagai peristiwa.

Sayangnya pemahaman sebagian kecil masyarakat disekitarku itu tidak sama, seperti adagium lama, “Jangan pernah menasehati orang yang sedang jatuh cinta”.  Semua saran, pendapat dan kritik akan mental menabrak tembok keteguhan hati bahwa si dia adalah is the best. Betapa pengaruh media begitu luar biasa khususnya televisi yang begitu gencar memberi informasi kepada masyarakat dengan aneka angka yang berbeda. Yang semakin hot adalah disaat angka tersaji di televisi lalu dijumlahkan ternyata lebih dari 100%, semakin berkembanglah opini bahwa lembaga survey tersebut tidak kredibel dan bla bla bla...... cape deh. Maka semakin rumit otak masyarakat dipenuhi informasi yang berbeda, pemenang pilpres yang berbeda versi quick count. Sehingga secara pribadi yang dilakukan adalah 1)Ambil remote TV, 2)Pindahkan ke program siaran yang khusus tentang olahraga atau musik dan film, 3)Pijit tombol off dan lakukan aktifitas lain seperti tadarusan bagi umat islam yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Kerumitan dan kebingungan masyarakat agak teredam oleh himbaun Komisi Penyiaran Indonesia melalui siaran persnya kepada media televisi untuk menghentikan segera penayangan hasil quick count, real count versi lembaga survey karena berpotensi meresahkan masyarakat juga tidak sesuai dengan P3SPS (Pedoman Penyelenggaraan Penyiaran dan Standar Program Siaran). Meskipun sampai tadi malam masih ada salah satu media televisi yang “ngotot” menampilkan running text hasil quick count dari lembaga survey tertentu.

Semoga sebagian kecil masyarakat disekitar saya dan juga masyarakat indonesia secara umum bisa membuka hati membuka mata untuk kembali kepada pemahaman yang sama bahwa perhitungan quick count bukan segalanya. Tetapi hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum secara berjenjanglah yang menjadi dasar semuanya yang berakhir pada tanggal 22 juli 2014. Mari kita kawal dan cermati bahwa proses demokrasi adalah pembelajaran bagi semua elemen.

Hari ini bertemu dengan segelintir masyarakat disekitarku.... ternyata kebingungan masih membelenggu.

Semoga.

@andriekw at IBRMCicendo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline