Lihat ke Halaman Asli

Upaya Membaui Musik

Diperbarui: 29 Maret 2020   13:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi mendengarkan musik (DragonImages) Via Kompas.com

Saya adalah pemuda asal Kebumen, sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang berada di sapuan samudera Hindia. Desa saya dengan lautan hanya berjarak kurang dari 2 Km. 

Namun, predikat menjadi anak pantai masih bisa dipertanyakan. Satu, rumah saya tidak langsung menghadap pantai. Dua, dulu main saya juga seringnya di pekarangan, bukan di pasir. 

Tiga, profesi orang tua juga bukan nelayan, yang mana biasa disebut pawangnya lautan. Mungkin cukup kategorikan saya menjadi anak pesisir, yang sering meluangkan waktu ke pantai.

Mengidentifikasi sebuah pantai secara visual itu mudah. Sedikit saya gambarkan, pantai ini memiliki ombak lautan yang membumbung mencapai 3-4 meter, bahkan selalu kedengaran dari rumahku ketika menjelang subuh. 

Air lautnya lumayan jernih jika tak ada banjir. Buih putih lautnya tak habis-habis. Satu-dua kepiting kadang curi-curi lintas di pandangan. Langitnya seringnya berawan, kalau cerah bisa sangat biru, kalau senja bisa sangat jingga. Pasirnya hitam, kadar garamnya mungkin kelewat tinggi.

Yang agak susah adalah mengidentifikasi baunya. Bau pantai. Air laut, pasir, dan angin yang berhembus membawa aroma tersendiri dari sebuah pantai. 

Jika terminologi "asin" boleh dipinjam dalam kategori penciuman, mungkin demikianlah jawabannya. Kita semua mungkin bisa sedikit sepakat untuk mencium wangi hujan turun/petrichor. 

Ia cenderung mengarah ke bau potongan rumput dan lumut di tanah basah. Sedangkan pantai menurut saya sedikit ke percampuran amis, lembabnya pasir, dan lengketnya angin.

Memori akan bau pantai ini terekam di otak. Ia sering nongol jika saya mendengarkan sebagian musik yang bisa merangsangnya keluar. Walaupun posisi saya bukan sedang berada di pantai, jika perasaan ini keluar entah kenapa otak dan indera saya berdamai dengan keadaan. Saya merasa aman, saya merasa dirumah, saya merasa sedang di pantai saat itu juga.

Berawal dari klangenan saya akan musik populer Indonesia di pasca-kolonial, terdamparlah kuping ini ke lautan teduh musik-musik Hawaii. Musik ini pernah ada di Indonesia, sejak George de Fretes memulai debutnya menjadi musikus asli pribumi di era pra-kemerdekaan. 

Dalam bergulirnya waktu, ternyata musik ini selalu menemukan penikmatnya. Diprakarsanya grup The Elshinta Hawaiian Seniors oleh Mas Jos tahun 1969, perwira yang piawai mengelola musik ini meneruskan obor.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline