Sepintas pernyataan tersebut seperti penggambaran kesaksian ketika kita sedang disidang oleh malaikat di liang kubur. Tetapi bukan itu maksud tulisan ini, karena saya tidak punya niat untuk membahas tentang akhirat. Tulisan ini ada di koridor tentang telinga sebagai media dari indra pendengaran manusia dalam merespon bunyi. Musik sebagai produk olah bunyi sangat erat kaitannya dengan peran telinga manusia dalam meresponnya.
Keinginan manusia untuk mengolah bunyi didorong oleh daya kreatif dan imajinasi yang dimiliknya. Mulanya, mengolah bunyi hanya digunakan untuk pola komunikasi non verbal berupa simbol yang disepakati, seperti kentongan ronda, kentongan tanda bencana, lonceng peribadatan, siulan untuk menandakan musuh, dll. Dalam kemajuan peradaban, pengolahan bunyi menemukan fungsi lebih luas, seperti adanya kesadaran akan keindahan nilai bunyi yang tidak hanya secara fungsional. Maka istilah musik mulai digunakan untuk menandai produk tersebut.
Musik adalah salah satu produk olahan bunyi yang bisa ditimbang dari kesadaran nilai estetika. Bunyi bisa dikatakan bising / noise adalah jika manusia tidak bisa menangkap kandungan musikal didalamnya. Berbeda dengan seseorang yang berhasil menangkap berbagai bunyi sebagai sebuah musik. Bisingpun bisa dikategorikan sebagai sebuah bentuk musik walaupun secara konsep mungkin terkesan subyektif. Namun apakah semua bunyi selalu ramah bagi telinga manusia?
Konsep mendengar ialah semua bunyi yang sengaja atau tak sengaja tertangkap telinga secara alamiah. Telinga manusia hanya menangkap frekuensi bunyi di rentang 20 Hz-20 kHz untuk mendengar. Sedangkan konsep mendengarkan adalah kesadaran kita untuk mencoba menghayati, memahami, mencari makna yang terkandung. Perbedaan konsep mendengar dan mendengarkan ada pada kadar pencarian makna suatu fenomena bunyi. Telinga kita tidak punya hak untuk memilih salah satu diantaranya, tetapi berbeda dengan otak kita. Lalu apa yang terjadi jika konsep mendengar tidak punya daya saring?
Keleluasaan ini harusnya digunakan sebaik-baiknya dengan mengolah apa yang sudah didengar. Namun terkadang kita lalai dalam hal pemeliharaan telinga. Contohnya penggunaan earphone / headset yang berlebihan. Dilansir dari WHO (Badan Kesehatan Dunia) pernah mengungkapkan sebuah data bahwa 1,1 milliar anak muda terancam mengalami kerusakan pendengarannya secara permanen karena mendengar musik yang terlalu keras. Para peneliti dari Committee on Emerging and Newly Identified Health Risks juga menyatakan bahwa mereka yang terlalu sering menggunakan headset punya risiko kehilangan daya pendengaran dalam jangka panjang.
Fakta tersebut sangat amat menakutkan bagi kita yang belum mau berhenti mendengarkan keindahan bunyi. Namun teror ketulian terus menghantui jika intensitas pengeras suara disekitar kita digunakan secara berlebihan. Gangguan yang sehari-hari mungkin kita jumpai seperti kurang ramahnya penggunaan volume toa yang ada di rumah ibadah maupun pedagang gethuk keliling. Atau sajian musik di cafe atau klub yang berlebihan volume sound out-nya. Lalu knalpot motor kampanye yang sering tidak sengaja kita temui dijalan secara memekakan. Atau musik di karaoke yang berderau keras di ruangan yang sempit. Sampai dengan sound system dari hajatan tetangga yang semakin bangga jika didengar seluruh desa. Dan banyak hal lainnya yang pasti tak kita inginkan, namun mereka semua muncul untuk meneror kualitas pendengaran.
Memang, telinga adalah dibutuhkan dalam mendengarkan musik. Tetapi dalam hal membuat musik, indra kita terfokus pada musikalitas dalam memetakan nada. Dengan atau tanpa membunyikannya, musikalitas bisa berjalan tanpa kendala. Ini terjadi pada kasus ketulian yang menimpa Beethoven. Mungkin ia tetap mendengar musik di kepalanya, namun ia kurang bisa mendengar musik di luar tubuhnya. Mungkin ia dapat memilah nada dan merangkainya menjadi simponi tanpa harus mendengar bunyi nada tersebut, karena hasil konkritnya adalah Simfoni Nomor 9 tahun 1824.
Bunyi nada tersebut muncul dari empiris yang melakukan penyesuaian daya musikal di otaknya ketika sebelum mengalami ketulian. Perbandingannya seperti orang buta nada, mereka mempunyai telinga dan dapat mendengar jelas, tapi mereka tak mempunyai daya musikal untuk menyesuaikan tinggi rendahnya nada. Ketika orang mempunyai musikalitas dan mengalami ketulian, mereka tetap bisa membuat musik walaupun tidak dengan mendengarnya. Maka sangat disayangkan jika komposer mengalami ketulian. Ia tidak bisa menikmati musiknya secara auditif, walaupun sangat mungkin untuk bisa membuatnya.
Ketika telinga menggugat, maka ia akan bersuara lantang didepan pemiliknya untuk lebih memperhatikannya. Telinga kita terlalu banyak mendengar masifnya bunyi yang menghantam gendang telinga. Kita terpaksa hidup diantara segala bebunyian yang memekakan tanpa kita harapkan. Maka jika semua bunyi itu kita terima tanpa filter diri sendiri, maka bersiaplah ada yang tak beres dalam keseimbangan hidup kita. Maka bersiaplah telinga menggugat tubuh kita dengan cara mengisolasi dirinya sendiri dari bunyi yang ada.
Selain menjadi indra pendengar, telinga menopang keseimbangan tubuh manusia. Ia dapat menyebabkan sakit kepala, stress, lemas, cemas, marah, meradang, insomnia, bila mereka (telinga) tak bekerja secara optimal. Kegelisahan seseorang dapat bermula ketika ia tak dapat mendengar perkataannya sendiri. Kekalutan seseorang dapat bermula ketika ia tak dapat mendengar hatinya sendiri. Bersyukurlah kita masih diberi kesempatan untuk mendengar dunia sekitar sejak kita dilahirkan, baik yang yang auditif maupun spirituil. Oleh karena itu, sebelum telinga mampu menggugat tubuh kita, pergunakan pendengaran dengan bijaksana agar ia tidak menyerah dengan perjuangannya untuk mediasi keindahan bunyi ke jiwa manusia.
Bijakbermusik #2