Manusia, nama sebutan yang penuh mistis dan misterius. kenapa ? tiada lain kecuali Manusia itu jam,un minkulli jam,in. Artinya kumpulan dari segala kumpulan, himpunan dari segala himpunan, yaitu himpunan dari semua alam.
yakni Ahda, wahda, ahadiyah, wahidiyah, alam Ruh, alam mitsal, alam ajsam, alam insan. biasa di sebut 7 martabat.
namun muqadimah ini dalam prespektif ilmu tauhid. sedangkan yang mau di bahas adalah dalam prespektif syariat.
Adapun tahapan - tahapan Manusia hadir di alam Insan menurut Al qur,an adalah sebagai berikut :
1. Tahap ghaib (tak terlihat), yang terjadi pada
zaman primordial atau azali, dan hanya
diketahui melalui pengetahuan wahyu. Pada
tahap ini, berulang kali disbeutkan bahwa
manusia diciptakan dari tiada, dari
substansi organik yang rendah dengan
sebutan tanah liat ( tin ), debu dan lumpur
( turab ) dan dari tanah liat gelap, yang
dibentuk oleh Tuhan melalui tangan-Nya
sendiri. Dan setelah berbentuk sempurna,
Tuhan meniupkan kepadanya ruh-Nya,
sebagaimana dalam Qs. Shaad ayat72. Ruh
Ketuhanan inilah, dijadikan dalam “bentuk
yang paling sempurna” kedalam organisme
manusia yang telah siap. Dalam arti, Tuhan
memindahkan unsur-Nya kedalam susunan
fisik bentuk manusia yang lebih sederhana
dan menjadikan manusia makhluk yang
paling mulia dari makhluk-makhluk Tuhan
lainnya. Ini, barangkali, satu alasan
mengapa Tuhan memerintahkan malaikat
agar bersujud kepada manusia pertama,
Adam.
2.Tahap proses biologis alami, yang manusia
sendiri dapat mengatahuinya melalui
pengalaman atau pengetahuan ilmiah.
Sperma disimpan dalam rahim yang kokoh,
kemudian diubah menjadi segumpal darah
yang kemudian dibungkus dengan tulang
dan daging.
Terdapat banyak sekali al-Qur’an yang
menerangkan tentang manusia seperti mengenai
proses penciptaan manusia dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan manusia. Sebutan-sebutan
manusia dalam al-Qur’an pun terdapat
bermacam-macam yang tentunya terdapat
maksud yang menjelaskan konsep manusia itu
sendiri. Sebutan-sebutan tersebut diantaranya;
Basyar , Insan, an-Naas , Nafs , Fu’ad , Aql, Qalb ,
Ruh, Bani Adam, dan Abd Allah.
1. A. Al-Basyr ( ﺍﻟﺒﺸﺮ)
Kata basyar berakar dengan huruf-huruf ba’ ( ﺑﺎﺀ),
syin ( ﺷﻴﻦ), dan ra’ ( ﺭﺍﺀ), yang bermakna pokok
‘tampaknya sesuatu dengan baik dan indah’. Kata
kerja basyara ( ﺑﺸﺮ ) yang berarti ‘bergembira’,
‘menggembirakan’, dan ‘menguliti’ (misalnya
buah); dapat pula berarti ‘memerhatikan’ dan
‘mengurus sesuatu’. Al-Qur’an menggunakan
kata basyar sebanyak 37 kali, yakni 36 kali
didalam bentuk mufrod dan sekali didalam bentuk
mutsanna untuk menunjuk manusia dari sudut
lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia
seluruhnya. Pengertian ini ditemukan didalam QS.
Al-Kahfi [18]: 110, tepatnya ketika Nabi
Muhammad saw. diperintahkan untuk
menyampaikan, ‘ ﺍِﻧَّﻤَﺎ ﺃَﻧَﺎْ ﺑَﺸَﺮٌ ﻣِﺜًﻠُﻜُﻢْ ﻳُﻮْﺣَﻰ
ﺇِﻟﻰَّ’ (Sesungguhnya aku ini hanya seorang
manusia [basyar] seperti kamu, yang diberi wahyu
kepadaku).
Selain itu, kata basyar dalam QS. Ar-rum [30]:20
yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian
manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap
sehingga mencapai kedewasaan. Kata
‘’bertebaran’ dalam ayat tersebut, M. Quraish
Shihab mengartikannya disini dengan berkembang
biak akibat hubungan seksual dan bertebaran
mencari rezeki. Hal ini tidak dilakukan manusia
kecuali oleh mereka yang memiliki kedewasaan
dan tanggungg jawab. Abd Muin Salim
menjelaskan bahwa ayat diatas menunjukkan
adanya perkembangan kehidupan manusia karena
didalamnya terdapat kata min ( ﻣﻦ ) yang
bermakna ‘mulai dari’ dan kata tsumma ( ﺛﻢ ) yang
bermakna ‘perurutan dan perselangan waktu’.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kejadian
manusia diawali dari tanah dan secara
berangsur-angsur mencapai kesempurnaan ketika
mereka telah menjadi dewasa.
Dalam QS. Ali-Imran [3]: 47 ,: ‘ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﺭَﺏِّ ﺍِﻧَّﻰ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻟِﻲ
ﻭَﻟَﺪٌ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻤْﺴَﺴْﻨِﻲْ ﺑَﺸَﺮٌ (Ya Tuhanku, betapa mungkin
aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah
disentuh oleh seorang manusia laki-laki [basyar ]’)
. Dalam ayat ini, Maryam mengungkapkan
keheranannya betapa mungkin ia dapat
memperoleh anak padahal ia belum pernah
‘disentuh’ oleh basyar , yakni dewasa yang
mampu melakukan hubungan seksual.
Disamping itu, ditemukan pula kata basyiruhunna
( ﺑَﺸِﻴْﺮُﻭﻫُﻦَّ), yang juga berakar dari kata basyara
( ﺑﺸﺮ ) dengan arti ‘hubungan seksual’. Kata
basyiruhunna disebutkan dua kali didalam satu
ayat, yakni al-Baqarah [2]: 187. [1]
Dalam konsep basyar, manusia adalah makhluk
biologis. Sebagai makhluk biologis berarti
manusia terdiri atas unsur materi, sehingga
menampilkan manusia dalam bentuk fisik material
(Hasan Langgulung dalam Jalaluddin, 2002: 19).
Dalam konsep al-Basyr, manusia merupakan
makhluk jasmaniah yang secara umum terikat
kepada kaidah-kaidah umum dari kehidupan
makhluk biologis seperti berkembang biak,
mengalami pertumbuhan dan perkembangan
dalam mencapai tingkat kematangan dan
kedewasaan (dorongan mengembangkan diri),
memerlukan makanan dan minuman untuk hidup,
memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan
keturunannya (dorongan seksual), dorongan
mempertahankan diri, sebagai dorongan primer
makhluk biologis. [2]
Adapun penjelasan al-Qur’an tentang proses dan
fase perkembangan manusia sebagai makhluk
biologis adalah: [3]
1. Prenatal (sebelum lahir), proses penciptaan
manusia berawal dari pembuahan
(pertemuan sel dengan sperma) didalam
rahim, pembentukan fisik janin (QS. Al-
Mu’minun: 12-14).
2. Post natal (sesudah lahir) proses
perkembangan dari bayi, remaja, dewasa
dan usia lanjut (QS. Al-Ghafir: 67)
Selain itu, sebagai makhluk biologis, manusia pun
mengalami proses akhirnya secara fisik, yaitu
mati. Segala pemenuhan kebutuhan manusia
telah diatur oleh Penciptanya karena manusia
juga sebagai makhluk ciptaan. Sang Pencipta
memberikan tata cara dan ketentuan agar
manusia dapat menjalankan peran dalam
hidupnya secara benar, sesuai dengan hakikat
penciptaannya. Oleh karena itu, diharapkan
manusia akan selalu berada dalam kondisi
kehiudupan yang selamat.
Al-Qur’an mengatur peran manusia selaku
makhluk biologis ciptaan Allah. Dengan adanya
hukum tata aturan didalamnya, pertumbuhan dan
perkembangan, serta dorongan biologisnya akan
berjalan secara harmonis dan terarah. Mengenai
kebutuhan makan dan minum, dibuat tata aturan
agar manusia dapat memenuhi kriteria halal
(absah) dan baik (bergizi) agar sesuai dengan
kebutuhannya (QS. An-an-Nahl:65-69), mengenai
air (QS. An-Nahl:65), susu (QS. An-Nahl:66),
buah-buahan (QS.an-Nahl:67) dan air madu (QS.
An-Nahl:69). Sedangkan untuk menyalurkan
dorongan seksual, dibuat aturan pernikahan (QS.
Ar-Ruum:21). Demikian pula untuk menjaga
keturunan, diatur tanggung jawab orang tua
terhadap anak dan usaha untuk memeliharanya
agar terhindar dari azab neraka (QS. At-
Tahrim:6). Sebaliknya diatur pula tata krama
anak terhadap orang tua (QS. Al-Isra’: 23-25). [4]
Dengan demikian, dalam konsep al-Basyr ini,
manusia memiliki peran sebagaimana manusia
sebagai makhluk biologis. Manusia dibedakan
dari makhluk biologis lainnya seperti hewan, yang
pemenuhan kebutuhan primernya dikuasai
dorongan instingtif. Oleh karena itu, segala
pemenuhan kebutuhan biologis manusia diatur
dalam syariat agama Allah.
1. B. Al-Insan ( ﺍﻹِﻧْﺴَﺎ ﻥُ )
Al-Insan terbentuk dari kata nasiya yang berarti
lupa (M. Quraish Shihab dalam Jalaluddin, 2003:
21). Al-Insan terulang 65 kali dalam al-Qur’an.
Kata al-insan mengacu kepada potensi yang
dianugerahkan Allah kepada manusia berupa
potensi untuk bertumbuh dan berkembang secara
fisik (QS.al-Mu’minun: 12-14) dan juga potensi
untuk bertumbuh dan berkembang secara mental
spiritual. Perkembangan tersebut antara lain,
meliputi kemampuan untuk berbicara (QS.ar-
Rahman:4), menguasai ilmu pengetahuan melalui
proses tertentu dengan mengajarkan manusia
dengan kalam (baca tulis) dan segala apa yang
tidak diketahuinya (QS. Al-‘Alaq: 4-5),
kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar
perjanjian awal dialam ruh, dalam bentuk
kesaksian (QS. Al-A’rof:172). Dari potensi
manusia ini (yang positif) memberi peluang
manusia untuk mengembangkan kualitas sumber
daya insaninya.
Selain memiliki potensi yang positif, manusia juga
memiliki potensi yang mendorongnya kearah
tindakan, sikap serta perilaku negatif dan
merugikan. Potensi tersebut yakni bentuk
kecenderungan manusia untuk berlaku zalim dan
mengingari nikmat (QS. Ibrahim:34), tidak
berterima kasih dan putus asa (QS. Huud: 9),
sombong bila telah berkecukupan, hingga mereka
sanggup mengatakan: “Sesungguhnya Allah
miskin dan kami kaya” (QS. Al-Imran :181).
Perilaku manusia seperti ini cenderung
menjadikan manusia lupa diri dan melupakan
harkat serta martabat dirinya sebagai makhluk
ciptaan. Menurut M. Quraish Shihab, setidaknya
ada tiga kecenderungan fitrah manusia yaitu:
benar, baik dan indah. Mencari yang indah,
melahirkan seni; mencari yang baik, menimbulkan
etika dan mencari yang benar menghasilkan ilmu.
(Quraish Shihab dalam Jalaluddin, 2002: 23).
Oleh karena itu, konsep al-Insan mengacu kepada
bagaimana manusia dapat memerankan dirinya
sebagai sosok pribadi yang mampu untuk
mengembangkan dirinya, agar menjadi sosok
llmuan yang seniman, serta berakhlak mulia
secara utuh. Konsep al-Insan diarahkan pada
upaya mendorong manusia untuk berekreasi dan
berinovasi. Dengan demikian, manusia dapat
menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran
(ilmu pengetahuan), kesenian ataupun benda-
benda ciptaan. Kemudian melalui kemampuan
berinovasi, manusia mampu merekayasa temuan-
temuan baru dalam berbagai bidang. [5]
1. C. An-Naas ( ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ)
Dalam al-Qur’an kata Al-Nas umumnya
dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai
makhluk sosial. Dalam QS. Al-Hujurat: 13,
manusia diciptakan sebagai makhluk
bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-
laki dan wanita, kemudian berkembang menjadi
suku dan bangsa, untuk saling kenal-mengenal.
Sebagai makhluk sosial, manusia secara fitrah
senang hidup berkelompok, sejak dari bentuk
satuan yang terkecil (keluarga) hingga kepalig
besar dan kompleks, yaitu bangsa dan umat
manusia.
Kehidupan sosial memang diprioritaskan dalam
ajaran islam, bahwa konsep al-Nas terulang
sekitar 24 kali dalam al-Qur’an. Kemampuan
untuk memerankan diri dalam kehidupan sosial,
sehingga dapat mendatangkan manfaat,
sebagaimana Nabi menyatakan: sebaik-baik
manusia, adalah mereka yang banyak memberi
manfaat bagi sesama manusia ( khair al-Nas
anfa’ li al-Nas ). Dengan demikian konsep al-Nas
mengacu kepada peran dan tanggung jawab
manusia sebagi makhluk sosial dalam statusnya
sebagai makhluk ciptaan Allah SWT.
Sebagai makhluk ciptaan Allah bagaimanapun
manusia dituntut untuk beriman kepada
Penciptanya ( ﺍَﻣَﻨُﻮْﺍ ). Kemudian dalam kehidupan
sosial mereka dituntut untuk berbuat kebaikan
( ﻋﻤِﻠُﻮْﺍ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤَﺎﺕِ ). Adapun terdapat tiga kerangka
pokok peran manusia yang digariskan
Penciptanya (lihat QS.al-Imran:110); 1) mengajak
masyarakat berbuat baik (setelah dirinya terlebih
dahulu melakukan kebaikan, 2) mencegah
masyarakat berbuat kemungkaran (sebelum
perbuatan mungkar terjadi), dan 3) atas dasar
iman kepada Allah. Jika ketiganya dapat
dilakukan manusia secara konsisten dan
berkesinambungan serta dapat dijadikan tradisi
dalam kehidupan sosial, maka kelompok
masyarakat tersebut sebagaimana yang dijanjikan
Allah, akan berpeluang mencapai peringkat
terbaik, yaitu predikat khair ummat ( ﺧَﻴْﺮَ ﺍُﻣَّﺔٍ ).
Preringkat ini telah dicapai oleh Nabi dan para
sahabat pada periode awal perkembangan
masyarakat Islam, khususnya diperiode Madinah
dalam suatu Baldat Thayyibat wa Rabb Ghafur
(negara yang aman tentram dibawah naungan
pengampunan Tuhan.[6]
1. D. Ruh
Perbedaan mengenai istilah dikarenakan
pembendaharaan bahasa yang memiliki berbagai
sumber, begitu pula mengenai kata ruh .biasanya
kata ruh sering kali disandingkan dengan jasmani,
kedua kata ini merupakan aspek-aspek yang
tidak bisa dipisahkan.
Ruh dalam al-Qur’an:
Kata ruh berasal dari kata ﺭﻭﺡ sehingga timbul
kata raha (keberangkatan) , rih (angina) , rahya-n
(kesenangan) , ruh (semangat. Daya.Hidup).
Makna kata-kata yang berkaitan dengan ruh bisa
dilihat dalam firman Allah Swt : Qs saba’ 34: 12
Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang
perjalanannya di waktu pagi sama dengan
perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu
sore sama dengan perjalanan sebulan (pula)
[1235] dan Kami alirkan cairan tembaga baginya.
Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di
hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan
izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di
antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan
kepadanya azab neraka yang apinya menyala-
nyala.
Dalam ayat di atas dipetik dua kata yakni rih
yang berarti angina dan rawah yang dalam ayat
tersebut dimaknai sebagai perjalanan sore.
Selain penjelasan dari ayat di atas dari kata ruh
timbul istilah roh kudus ( ruh al-Quds) yang
menggandeng kata al-ruh dan al-quds, istilah ini
terdapat dalam Qs. al-Baqarah : 87
Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al
Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah
menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan
rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti
kebenaran (mukjizat) kepada Isa putera Maryam
dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus
[69] . Apakah setiap datang kepadamu seorang
rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak
sesuai dengan keinginanmu lalu kamu
menyombong; maka beberapa orang (diantara
mereka) kamu dustakan dan beberapa orang
(yang lain) kamu bunuh?
Ayat diatas menyebutkan istilah ruh al-quds “dan
kami memperkuatanya dengan ruh al-quds”,
menurut departemen Agama menjelaskan bahwa
kalimat itu dikaitkan dengan kejadian Nabi Isa
yang luar biasa yakni beliau lahir tanpa bapak
dengan tiupan ruh al-quds oleh Jibril kepada
Mariam.
Mengenai hakikat ruh, kita bisa menemui
jawabannya melalui firman Allah Swt dalam Qsal-
Isra:85:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit”.
Departemen Agama memaknai kata ruh disini
sebagai roh manusia.
Kata ruh atau roh dalam al-qur’an yang memiliki
predikat kudus atau suci, roh adalah malaikat
yakni malaikat Jibril. Selain itu ruh juga berarti
sesuatu yang menyebabkan manusia itu hidup,
dalam hal ini ruh ditiupkan pertama kali oleh
Allah dalam bentukan yang disebut dengan
badan. Dalam hal ini kata ruh memiliki dua
pendapat yakni kata ruh yang pertama berarti ia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sedangkan yang
kedua ruh ini sebagai ruh Allah sendiri.
Ruh juga bisa dipandang sebagai wahyu misalnya
mengenai Nabi Isa a.s .[7]