~Resh Romero
Minggu siang itu cerah seperti biasanya. Kami menuruni jalan setapak yang terletak di kiri jalan raya Fetor Funay, kira kira satu kilometer jaraknya dari gapura selamat jalan Kelurahan Kolhua, Kecamatan Maulafa Kota Kupang.
Tidak sulit memang menemukan rumah kecil yang lebih pantas disebut gubuk itu. Hanya berjarak 20 an meter dari jalan raya, letaknya di RT.25/RW.05 Kelurahan Kolhua, Kecamatan Maulafa Kota Kupang. Suasana gubuk yang berdinding seng serta spanduk bekas dan tempat sekitarnya lengang. Pintu gubuk dari tripleks pun tertutup saat kami tiba.
Ancis, seorang rekan yang menjadi penunjuk jalan coba memanggil penghuni rumah. Setelah dua kali panggilan, pintu dibuka, tampak seorang laki laki baya terbongkok-bongkok berdiri di balik pintu. Tubuhnya kurus, tinggal kulit pembalut tulang. Tanpa mengenakan baju pula.
Rambutnya yang ikal tampak panjang tak terawat. Demikian janggutnya yang beruban. Ia hanya mengenakan celana pendek bergaris lurik yang kusam. Di bagian perutnya terlilit kain merah muda, yang di beberapa tempatnya tampak sudah menunjukkan flek.
Ia menyahut pelan, namun ramah terdengar. Mempersilahkan kami masuk, sambil ia berjalan tertatih dalam posisi membungkuk.
Segera ia menepi, ke sisi tempat tidur dari kayu yang terletak rapat di pojok ruangan. Sebenarnya, itu bukanlah bentuk tempat tidur dalam artian yang sebenarnya, karena hanya berupa potongan balok yang diletakkan melintang dan dialasi triplek dan spon lusuh. Penutupnya adalah kain kelambu yang warnanya telah memudar.
Ia mempersilahkan kami duduk di kursi, sedang ia di tepi "tempat tidur" itu. Entahlah, itu ruang tamu yang disulap menjadi kamar tidur pula buat Yohanes Apa Dosa (56), lelaki yang kini hanya menghabiskan seluruh waktunya di atas tempat tidur itu.
Ketika saya mulai melempar tanya tentang hasil pemeriksaan terakhir yang dilakukannya beberapa hari lalu di Rumah Sakit Bhayangkara Kupang, lelaki yang dahulu berprofesi sebagai pemulung itu tampak emosional. Matanya mulai berkaca, namun keegoan lelakinya mengalahkan titik air mata yang mulai menggenang di bola matanya yang tua.
Ia berkeluh, penderitaan yang melilitnya lebih dari satu tahun setelah melakukan operasi di RS Leona Kupang membuatnya seolah mati dalam hidup. Ia tak bisa lagi mencari nafkah untuk menghidupi isteri dan tujuh orang anaknya, bahkan hanya untuk bergerak dan beraktifitas kecil pun sulit. "Anak, saya langkah keluar mau kencing saja susah, jadi ini masih kencing di dalam botol," katanya.
Lubang di perutnya setelah operasi hingga kini belum mengering. Di sana, di lubang itu hampir setiap waktu keluar "kotoran" dari dalam perutnya. Kotoran yang seharusnya "dibuang" melalui saluran pembuangan di anusnya.