Lihat ke Halaman Asli

Jawaban Buat Mbak Nuni: Aprilia Vs Andriani?

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat acara ngumpul bareng kompasianers di Senayan City akhir Januari lalu.  Di sudut Starbuck Coffe, setelah menonton bareng-bareng film NINE. Mbak Nuni (kompasianers Erwahyuni Prabandari) secara khusus bertanya ke saya, "Mbak, kok namanya Andriani, tapi dipanggilnya April sih?" Nah, inilah jawaban terperinci untuk Mbak Nuni dan kompasiners yang masih sering bingung, karena pak admin Pepih Nugraha yang masih lekat dengan panggilan April ke saya. Cerita ini bermula di bulan April tahun 2000 lalu ketika saya yang sedang menyelesaikan skripsi S1 di FKG Unhas diserang suntuk yang berkepanjangan, kesibukan sebagai aktivis mahasiswa intra dan ekstra kampus serta kewajiban menyelesaikan kuliah membuat saya rajin begadang, nah..saat begadang itulah di kamar kost 3x3 m tempat saya berkutat itu hanya ditemani oleh stereo set yang selalu memutar radio Mercurius Top FM Makassar. Hm..mengapa Mercurius, mengapa bukan channel radio lain? Tak lebih karena lagu-lagu dan musik yang diputer bernuansa jazzy, musik yang mulai saya sukai sejak SMA dulu. Entah mengapa, malam itu, kemudian ada pengumuman kalau dibuka lowongan pekerjaan sebagai penyiar di radio tersebut. Hm...sebuah peluang menurutku. Tapi, apa saya bisa ya? Itu pertanyaan pertama yang terbetik dalam pikiran saat itu. Pulang kuliah, dengan naik angkot (pete-pete dalam bahasa Makassar) bernomor 07 jurusan Kampus Unhas-Pettarani, surat lamaran sudah saya buat hingga subuh tadi, foto sudah saya lampirkan, kebetulan ada selembar foto saya saat menjadi steering commite di ruang senat kampus, hm..boleh diambillah satu lembar menurutku.  Sebenarnya nyari alamat kantor radio ini cukup membuat pusing juga, letaknya yang berada di kawasan perumahan Taman Permata Sari, membuat saya harus muter-muter terlebih dahulu nanya kanan-kiri, mana panas-panas lagi, saya masih ingat waktu itu sekitar jam 2 siang. Ah, syukurlah ketemu, setelah dibuka dengan basa-basi, saya kemudian menyerahkan amplop coklat berisi lamaran yang saya berikan langsung ke Pak Hendra Poerwita (begitu beliau memperkenalkan dirinya) yang belakangan saya baru tahu kalau beliaulah yang menjadi ketua tim recruitment. Satu minggu, dua minggu berlalu, saya sudah lupa kalau sudah mengirimkan cv untuk melamar dsana. Tiba-tiba sore hari saat saya baru bangun tidur di kamar kost, ibu kost memanggil ada telepon untuk saya (waktu itu belum jaman hp, jadi masih numpang pake telepon kost kalo ada keperluan anggota keluarga atau teman yang ingin bicara. Saya sampai ingat telepon kost waktu itu harus digembok, karena ada yang sering usil nyuri-nyuri pulsa telpon entah untuk telpon teman atau interlokal keluarga, hehehe..bener-bener watak anak kost yang usil ya...) Aha, ternyata telpon dari radio Mercurius yang memintaku datang untuk wawancara. Surprise bercampur senang juga, ternyata ada respon. Besok paginya saya khusus bolos untuk datang wawancara kerja, saya beruntung karena di FKG kami sering menggunakan rok, jadinya koleksi rokku lumayanlah untuk dipilih dipakai buat interview. Dalam perjalanan saya cuek saja, diterima yah syukur, tidak juga ndak pa-pa. Tujuan saya cuman satu, nambah pengalaman saja.  Wuah seleksi interview pertama ada 30 orang yang datang dari berbagai profesi dan keahlian di dunia broadcast ternyata dari hasil penyelidikan saya, beberapa dari sainganku itu adalah mereka yang sudah tidak hanya satu-dua kali saja sudah menyiar di radio lain di Makassar ini, huah...saingannya berat-berat ternyata! Ops, maaf tes pertamanya waktu itu adalah tes tulis (IQ dan tes pengetahuan broadcast). Seminggu kemudian, saya dihubungi lagi via telepon, saya lolos lagi ke tahap ke dua. Nah, kali ini tes nya adalah tes suara. Para peserta tes dikasih tulisan satu berupa petikan berita, satu script berupa adlibs iklan suatu produk. Kali ini saingannya sisa 20 orang lho. Minggu berikutnya saya dipanggil lagi, dan yang ini adalah final interview, saya lolos untuk 10 orang yang diinterview mendalam. Satu kata kunci yang saya pegang dalam interview saat itu adalah saya memiliki kepercayaan diri untuk menjawab dunia yang akan saya geluti tanpa berbekal apa-apa tentang dunia broadcast. Artinya? berani menghadapi tantangan dan mau belajar saja. Ternyata itu yang membuka mata penguji dan owner yang akan mempekerjakan saya di radio itu. Akhirnya... Keterima deh!.. Nama siaran Aprilia Effendy kemudian diberikan oleh Yosi Karyadi sang GM (dengan alasan menggunakan konsep reborn di dunia broadcast) yg sampe sekarang terus melekat karena teman2 gaul di Kompasiana ternyata juga memanggil saya dgn nama ini, itu karena Kang Pepih Nugraha yang masih sering menggunakannya. Setelah melewati masa training yang melelahkan lho (karena berbulan2 training dengan setumpuk teori, ada perasaan khawatir juga, apa bisa tidak ya mempraktekkannya saat siaran nanti ?). Patut diakui bahwa Mercurius memiliki patokan yang serius dalam menghasilkan broadcaster yg berkualitas. Waktu jaman saya itu, suara yang bagus bukanlah jaminan untuk bisa mengudara, dibutuhkan skill yang terus diasah untuk bisa meretas sukses di Mercurius. Adalah seorang Andy Mangara yang benar2 menemukan saya untuk berpasangan siaran pagi di “Good Morning Makassar” akhir 2000 waktu itu yang bisa saya klaim sebagai siaran jurnalisme pertama di Makassar. Bersyukurlah, acara itu cukup melegenda dan mengantarkan saya menuju puncak popularitas di radio. Bersama Kompas Makassar kami memperlebar dengan Obrolan Warung Kopi live dari Warung Kopi Phunam. Selanjutnya acara “Good Night To Night” bersama Doni Dinar, paket acara yang diformat lebih santai untuk professional Makassar yang kalau saya ibaratkan seperti curhat di udara yang dewasa tapi tidak menggurui pendengar. Kemudian di “Notasi Jazz” saya banyak membantu Andy Mangara sebagai penyiar tamu informasi jazz. Sebelumnya itu, acara Bintang Khatulistiwa juga sempat saya jadi penyiar tamu disana. [caption id="attachment_114433" align="alignleft" width="300" caption="Foto bersama Cak Nur (alm), Ibu Omi Komariah dan tokoh SulSel"][/caption] Senangnya bisa bergabung di Mercurius karena banyak teman dan sahabat saya di FKG UNHAS (dosen saya juga beberapa) yang memang sudah menjadi fans berat Mercurius jauh sebelumnya. Di idolakan sama sahabat sendiri kan luar biasa tuh, banyak kritikan yang membangun yang mereka selalu berikan. Saya juga bisa bertemu dengan tokoh-tokoh politik dan pejabat, serta selebritis yang lagi promo ke daerah. Dukanya, saya harus tertinggal beberapa SKS dalam kuliah yang ketat di FKG, kuliah saya tidak normal spt beberapa teman se Angkatan saya. Hingga suatu hari saya sakit dan harus berobat ke dokter keluarga Askes yang ditunjuk oleh kantor, saya saat itu memilih Dr. Dhanny Suwandi Sp.An yang juga dosen anastesi saya di semester 3 pengantar mata kuliah anastesi (cara mengajar yang lucu dan khas membuat saya tidak lupa dengan dosen ini). Setelah saya diperiksa dan akan diberi resep obat, beliau memperhatikan kartu Askes perusahaan yang saya bawa, "Wah..kamu Aprilia yang anak kedokteran itu ya?" "Iya dok" jawab saya. "Bisa saya bicara sebentar.." kata beliau seakan meminta waktu. Beliau pun memberi nasehat yang pada intinya: Untuk saya menyelesaikan dulu sekolah kedokteran ini, kepopuleran dan embel-embel yang saya dapatkan sekarang tidak ada apa-apanya jika kuliah tidak beres. Suatu nesehat yang sangat simpatik dan sangat terngiang di telinga saya. Dan akhirnya, perlahan-lahan saya pun mundur dari duni broadcast untuk memilih menyelesaikan tugas kuliah dan menata masa depan dari bangku kuliah ini. Better late than never kata orang bule, akhirnya saya menjadi dokter gigi juga. Dan setelah itu ikut ke beberapa kota tempat suami bertugas, ke Palu, Jakarta dan di Aceh. Saya tiba di Aceh Februari 2006, saya mendapatkan tempat PTT di Puskesmas Blang Cut daerah terpencil di Lhokseumawe, Aceh Utara tahun 2006-2007 daerah terparah terkena dampak tsunami dan sarang mantan kombatan GAM. Dengan pendekatan diplomasi komunikasi yang saya miliki, Alhamdulillah saya diterima baik disana. Ada pengalaman lucu saat bertugas disana, Bapak Andy Sebastian (Saharuddin Daming) yang sekarang menjadi anggota Komnas HAM dan juga pendengar setia Mercurius sempat mengirimkan sms untuk menyapa saya, dan saya katakan bahwa saya berada di tempat yang sinyal handphonenya kurang kuat, beliau surprise sekali, bagaimana mungkin seorang Aprilia Effendy yang sangat bersentuhan dengan teknologi bisa terdampar di pulau seperti itu, hehehe. Ini kerja sosial kata saya, kerja sosial untuk Depkes! Setelah PTT, saya diterima menjadi dosen di Fak. Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, belum genap tiga bulan bertugas, saya kemudian berhasil mendapatkan beasiswa Pemda NAD untuk lanjut S2 di FKG UI jur. Kedokteran Gigi Komunitas Agustus 2007. Oya, waktu di Banda Aceh, saya sempat siaran juga lho di Radio Nikoya FM Kontrak 10 episode (3 bulan) dengan BRR Aceh-Nias dengan UNESCO untuk talkshow ttg anak, perempuan dan HAM. Yah..namanya juga hobby mau gimana dong? Saat yang tak terlupakan di Mercurius adalah saat semangat kebersamaan saat susah, senang, sedih, gembira, haru, kesal dan semua yang pernah mengiringi masa2 dewasa saya telah saya lewati dsna. Saat dimana ego dan kreativitas diramu untuk menyusun formula yang tepat di bawah panji Mercurius. Saya tau, saya masih seumur jagung disana, ditarik ke blkg, ada ratusan nama yang telah membesarkan Mercurius dengan pengorbanan dan cerita yang berbeda dari tiap individu. Walau masih junior, saya merasa sangat bangga pernah bergabung dsna. Bangga pernah ditempa oleh senior2 yang berpengalaman, saya bangga bahwa teori2 hidup banyak saya peroleh dsana, dan saya tetap bangga bahwa masih ada fans2 fanatik yang masih merindukan saya (deu...ge er nya, hehehehe.. ) Pandangan dunia Broadcast Dunia broadcast sekarang (radio dan televisi) menghadapi tantangan yang sangat besar dalam keterbukaan informasi. Sebagai penyiar radio, kecepatan menyampaikan informasi ke pendengar merupakan suatu keunggulan dibanding media lainnya, namun penyiar yang baik sangatlah dituntut untuk memiliki kepekaan “news value” karena tidak semua berita memiliki kriteria itu. Media sekarang sudah berhadap-hadapan dengan kekuasaan dan kepentingan segelintir penguasa atau yang punya kuasa. Ujung tombak di radio (penyiar ataupun reporter) harus bisa melihat dan menyampaikannya dengan independen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline