Lihat ke Halaman Asli

Andrian Habibi

Kemerdekaan Pikiran

Millenial dan Pemilu Partisipatif

Diperbarui: 18 Maret 2019   22:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Matraman Circle

Alkisah, ada perdebatan terkait millenial. Apalagi kaum ini dihubungkan dengan kontestasi politik saat pemilu serentak 2019. Bagaimana keaktifam millenial pada pemilu? Bila kita mengingat kata aktif. Maka, akan muncul kata yang sudah diakomodir dalam peraturan perundang-undangan, yaitu partisipasi.

Partisipasi millenial memang harus terukur dan terarah. Untuk itu, millenial yang dikabarkan berusia 20 - 35 tahun ini, perlu membaca bagaimana cara aktif dalam jenis kegiatan partisipasi. Oleh sebab itu, perlu kiranya millenial membaca pemikiran Samuel P. Huntington dan Joan Nelson (1994) tentang partisipasi politik di negara berkembang.

Karena, para millenial sejatinya mengetahui bahwa berpolitik itu penting. Sebagaimana diterangkan oleh Ramlan Surbakti, Dahlan Ranuwihardjo, Mulyana Wira Kusumah, Nur Hidayat Sardini dan sebagainya. Partisipasi politik ini bukan hanya jalur politik di partai. Ada banyak jalur partisipasi politik. Terlebih saat pemilu yang membutuhkan keaktifan pemilih untuk menguatkan demokrasi Indonesia.

Dari sisi keaktifan, millenial bisa memilih jenjang partisipasi tersendiri. Hal ini sesuai yang disampaikan oleh Afiffuddin dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang sekarang menjabat sebagai anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia.

Afif mengatakan bahwa partisipasi terendah adalah menggunakan hak pilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kenapa partisipasi ini yang paling rendah? Karena millenial cukup hadir ke TPS. Lalu, partisipasi menengah, yaitu millenial bisa ikut membantu sosialisasi pemilu. Terakhir adalah partisipasi level tinggi. Partisipasi para pemantau pemilu. Millenial bisa menjadi bagian pemberi legalitas terhadap proses dab hasil pemilu.

Bagaimana cara millenial berpartisipasi sesuai dengan tingkatan tertinggi? Pertanyaan ini paling sering diucapkan oleh para anak muda yang mendaftarkan diri dan kelompoknya sebagai pemantai pemilu 2019 di Bawaslu. Untuk menjawab keluh kesah millenial yang ingin aktif tersebut. Kita bisa mendalami pemikiran Gunawan Suswantoro (2015) yang telah mengukir catatan terbaik terkait pengawasan pemilu partisipatif.

Bukan hanya itu, Gunawan (2016) yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Bawaslu juga mengingatkan bagaimana pentingnya millenial untuk memahami tata kelola organisasi Bawaslu. Agar pengawasan partisipatif melalui jalur pemantauan pemilu lebih kuat dan mendalam. Kepentingan untuk mendalami konsep pengawasan dan pemantauan menurut Topo Santoso dan Didik Supriyanto (2004) adalah kunci millenial yang berpartisipasi aktif positif.

Adapun pilihan partisipasi tersebut terbagi atas tiga, yaitu berpartisipasi sebagai peserta pemilu, penyelenggara pemilu dan pemantau pemilu. Pilihan ini juga berkembang sesuai dengan kreatifitas politisi kekinian. Misalnya, partisipasi sebagai peserta pemilu bukan hanya soal menjadi calon anggota legislatif. Tapi, partisipasi politik telah meluas, millenial bisa bergerak dengan nama tim kampanye/pemenangan atau relawan politik.

Menurut hemat penulis, pada bagian kedua, millenial bisa menjadi penyelenggara pemilu mulai dari tingkatan provinsi sampai ke TPS. Bahkan, millenial boleh membantu kerja-kerja demokrasi sebagai mitra penyelenggara pemilu dengan cara menjadi relawan demokrasi (relasi) atau gerakan sejuta pengawas partisipatif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline