Pemilu 2019 tinggal beberapa hari lagi, kurang dari 100 hari. Akan tetapi, partisipasi masyarakat masih terfokus pada isu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Secara umum, perdebatan media, khususnya nitizen masih seputar Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Warganet kehilangan fokus pada peserta pemilu lain yaitu partai politik dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Hipotesis sementara menyatakan bahwa pemilu serentak dengan istilah pemilu gerombolan atau pemilu lima kotak telah tertutup oleh pilpres. Sehingga, pemilu serentak telah hilang dan digantikan oleh isu pilpres 2019.
Pembacaan ini menandakan pemerintah dan DPR tidak mampu memaksimalkan sosialisasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Beban pendidikan politik dan pemilih pun jatuh ke tangan penyelenggara pemilu. Parahnya, baik Komisi Pemilihan Umum maupun Badan Pengawas Pemilu tidak mampu menerima umpan bola pendidikan pemilih.
Bila kita memperhatikan ketentuan pemilu partisipatif. Subtansinya bukan hanya partisipasi pemilu dalam bentuk pemberian suara. Kalaupun itu menjadi tolak ukur. Data pemilu yang diolah Harun Husein memperlihatkan bahwa pemilih dengan surat suara rusak cukup tinggi. Angka golongan putih atau golput pun dari pemilu ke pemilu selalu bermbah.
Data empat pemilu tersebut dapat di baca melalui gambar di bawah ini:
Dengan demikian, teori partisipasi politik yang diungkapkan oleh pemikir pemilu memang sulit dilaksanakan. Misalnya bahwa pemilu demokratis itu bisa dikonfirmasi dengan keaktifan pemilih. Apakah aktif sebagai aktor politik, penyelenggara, tim sukses/pemenangan atau pemantau pemilu. Konfirmasi itu bisa kita cek dengan membaca karya Samuel P. Huntington, Ramlan Surbakti atau pemikir lain dengan munculnya regulasi pemilu yang di cek melalui aktifitas penyelenggara dan peserta pemilu dan di evaluasi setelah pemilu.
Misalnya, berapa kali penyelenggara dan peserta pemilu ditambah kegiatan Kemendagri dan Komisi II DPR yang menjalankan amanah sosialisasi UU Pemilu? Jawabannya berhubungan erat dengan munculnya isu dominasi pilpres dan hilangnya informasi parpol dan anggota DPD. Belum lagi kiacuan di media sosial adalah pembanding terpenting untuk menjelaskan pendidikan pemilu masih kurang dan tidak efektif.
Pembuktian awal bisa kita lihat dari hasil data penelitian SPD dengan Kemendagri berikut ini:
Akibat dari tidak membuminya pemilu antara lain menurunnya tingkat kepercayaan publik kepada lembaga penyelenggara pemilu. Salah satunya adalah hasil temuan penelitian Sindikasi Pemilu dan Demokrasi dengan Founding Fathers House. Menurut temuan dua lembaga tersebut, mahasiswa di enam provinsi kurang percaya pada KPU, Bawaslu dan DKP. Persentase kepercayaan itu bisa dilihat dari gambar berikut:
Sepanjang penyelenggaraan pemilu, peran aktif penyelenggara dan peserta pemilu kurang menyentuh subtansi pemilu. Bagaimana pemilu menjadi pesta demokrasi prosedural bagi seluruh warga negara. Dengan demikian, bila pemilih menggunakan hak pilih atau partisipasi pemilih mencapai target. Itu semua hanya sebatas pemilu untuk peserta, penyelengara dan jumlah pemilih.
Oleh sebab itu, pemilu yang kurang dari 100 hari ini harus dibenahi secara bersama. Salah satunya adalah penguatan partisipasi relawan demokrasi dan kader pengawas partisipatif. Dari sisi partai politik peserta pemilu, kader-kadernya wajib menjadi pengeras suara yang memasuki kampung-kampung dan aktifitas pemuda demi melakukan pendidikan politik.