Sejak reformasi, pemilihan umum sudah mendapat stempel cukup demokratis. Mulai dari Pemilu 1999, 2004, 2009 dan 2014 adalah empat pemilu yang menjadi catatan sejarah. Bagaimana demokrasi prosedural berjalan paska pemerintahan otoriter berkuasa selama 32 tahun.
Salah satu syarat pemilu yang demokratis terlihat dari peyelenggara yang independen, sesuai dengan amanah amandemen konstitusi Indonesia. Besar harapan publik untuk independensi penyelenggara pemilu. Pertanyaanya, apakah penyelenggara sudah tegak berdiri diatas kaki sendiri?
Tri patrit penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Ketiganya memiliki satu nyawa perjuangan pemurnian demokrasi sesuai budaya nusantara. Merekalah pemegang tongkat pemerintahan untuk menyelenggarakan pemilu yang benar-benar mandiri dan berkadilan.
Akan tetapi, penyelenggara pemilu tidak bisa bekerja tanpa bantuan orang lain. Semua komisioner dibantu kesekjenan yang berasal dari aparatur sipil negara. Sehingga, selain pemimpin lembaga, Sekretaris Jenderal beserta pegawainya bekerja untuk membantu komisioner melaksanakan administrasi dan teknis. Seluruh urusan perjalanan, surat, kegiatan bahkan anggaran adalah milik pegawai.
Dengan demikian, birokrasi ala pemerintaha orde baru masuk dan berkuasa di gedung-gedung penyelenggara pemilu. mereka bekerja, sebagaimana pengalaman birokrasi yang kita kenal. Ribet, rumit, tidak mampu menyelesaikan masalah, berlama-lama dalam pekerjaan, dan membuat publik mengelus dada karena terpaksa bersabar.
Di lain sisi, penyelenggara masih membutuhkan ruang mengunsultasikan rancangan teknis penyelenggaraan pemilu. Walaupun, perjuangan konstitusional melalui judicial review telah menjamin kemandirian dalam mengakji, menguji, dan mengesahkan PKPU, Perbawaslu dan Pertauran DKPP. Realitas hubungan antara penyelenggara dengan Komisi II DPR tetap terjalin dengan kata Forum Dengar Pendapat.
Menjadi Robot
Dari masalah diatas, maka muncullah satu makahluk baru dalam kepemiluan. Mereka adalah robot pemilu. Apakah itu robot pemilu? dia adalah para aktifis yang kencang bersuara saat masih dijalanan. Bermimpi memperbaiki kelembagaan penyelenggara pemilu. lalu mengikuti seleksi dan berakhir menjadi mesin pemilu yang hanya bekerja sesuai teks yang diketik oleh pegawai dan aturan yang dikonsultasikan dengan anggota legislatif.
Mungkin, akan ada pembelaan terhadap status robot pemilu. iya, sebagaimana kita lihat di Jakarta. Pelenggara pemilu di tingkat pusat telah menciptakan berbagai karya, agenda dan program kepemiluan. Luar biasa, patut diapresiasi dengan senyuman hangat atas mimpi perbaikan demokrasi prosedural. Nah, coba lihat situasi kebatinan penyelenggara pemilu, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, kota, kecamatan dan desa.
Kita sulit mempercayai bahwa mantan aktifis yang menjadi anggota penyelenggara pemilu bekerja susuai mimpinya. Harapan, cita-cita, keinginan, motivasi, dan saran perbaikan yang mereka utarakan saat proses seleksi. Entah dimana dan kemana? Semua hilang dalam tekanan kekuasaan birokrasi lembaga penyelenggara pemilu. Juga, ikhtiar untuk mengamalkan semua perintah Jakarta memperparah kekakuan menjalankan kerja-kerja komisioner daerah ini.
Sang robot pemilu, menerima mentah-mentah intruksi pusat. Lalu mengaplikasikan perintah itu di daerah. Mereka menceramahi sampai para pemilih. Setiap acara selalu dengan sepengetahuan kepala sekretariat. Bukan karena kemitraan dan kerjasama. Melainkan hanya untuk keperluan pengadaan, alokasi dana dan surat perjalanan dinas.