Lihat ke Halaman Asli

Andrian Habibi

Kemerdekaan Pikiran

UU Pemilu, Dilema antara Sosialisasi dengan "Judicial Review"

Diperbarui: 6 Desember 2017   01:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendiri KIPP. (Foto: Dokumentasi KIPP)

Kalau bisa sesuatu membuat penasaran, kenapa harus terburu-buru. Begitulah kira-kira kalimat yang saya rasa pas untuk mengungkapkan perasaan atas pembahasan, penetapan dan penomoran UU Pemilu.

Bayangkan saja, Pemerintah bersama-sama dengan DPR menghabiskan waktu 9 (sembilan) bulan demi membahasa RUU Pemilu.

Pembahasan ini jelas rumit karena menggabungkan 3 (tiga) UU menjadi 1 (satu) yaitu UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pimilihab Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU Nomor 15 Tahun 2008 tentang Penyelenggara Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.

setelah lama memperdebatkan penyatuan 3 (tiga) UU tersebut. Pengesahaannya juga tidak luput dari dilema, aksi memecah kekuatan DPR pun terjadi. Koalisi tersebut saya sebut dengan Koalisi Penguasa dan Koalisi Walk Out.

Pada intinya, perbedaan pandangan antara kedua koalisi ini terkait dukungan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Koalisi Penguasa mendukung 20 persen PT atau 25 persen suara nasional yang dihitung dari hasil pemilu 2014. Sedangkan Koalisi Walk Out adalah penentang PT dan menginginkan 0 (nol) persen PT atau bisa dikatakan menghapus ambang batas untuk pencalonan presiden.

Ngobrolin Pemilu -NGOPI-.(Foto: Dokumentasi KIPP)

Ikhtiar Kontitusional Menggugat UU

Polemik UU Pemilu pun bermuara ke meja Penafsir dan Pengawal Konstitusi, yakni Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Karena lembaga yang berhak mengatakan suatu produk legislasi, khususnya UU, dinyatakan konstitusional atau inkonstitusional adalah MKRI.

Hal ini ditegaskan oleh Hamdan Zoelva mantan Hakim Konstitusi dalam bukunya "Mengawal Konstitusionalisme" (2016:5). Menurut Hamdan Zoelva, "peradilan konstitusi menjadi satu-satunya penentu akhir atas makna teks konstitusi yang diperdebatkan itu (the sole interpreter of the constitution), serta menjadi pengawal konstitusi (the guardian of the constitution)".

Jika kita merujuk pada pandangan Hamdan Zoelva, tidak ada cara lain mengakhiri perdebatan UU Pemilu selain mengujinya ke MKRI.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline