Ngopi itu memberikan kamu inspirasi untuk menjaga nalar. Kata abang padaku suatu ketika. Gelas kopinya tinggi. Bisa lah memperkirakan berapa lama kopi akan habis.
Saya selalu rindu dengan suasana itu. Pohon mangga yang melindungi kami dari terik mentari. Membawa kesejukan. Meskipun siang begitu panas. Kami masih bisa menata beberapa kursi dengan meja di tengah lingkaran.
"Pergi ke dapur, buat kopimu, baru kita bicara" kata sang guru padaku.
Dengan pura-pura mempercepat langkah. Saya menghidupkan kompur gas. Memasak air segelas. Lalu memasukkan dua sendok kopi ke dalamnya.
Sembari menunggu air berbuih bagaikan gunung merapi. Saya mencoba meniknati waktu memasak gabungan air dan kopi. Setelah itu, air kopi pindah ke gelas.
Perlahan ku membawa gelas berisi kopi ke depan. Halaman sebuah rumah yang kami sebut sebagai padepokan puluhan merpati. Kenapa diberi nama itu? Karena sang guru memelihara puluhan merpati dengan berbagai jenis.
Tenang dan damai. Suananya pas untuk saling berbagi pengetahuan. Masih teringat senyum sang guru. Dia menunggu dengan sabar siapapun yang niat belajar.
"Minum kopi dari olahan petani itu terasa nikmat kan?" Tanya sang guru sembari menyeruput kopinya.
Tanpa menunggu lama. Guru pun menceritakan berbagai kisah kepadaku. Mulai membaca peritiwa. Bagaimana menganalisis. Lalu mencari pemain dibalik layar. Sampai gerak langkah apa yang harus ku ambil.
Setiap sore. Kami para murid selalu menerima nasehat. Terkadang curahan hati. Ada juga mencari jalan keluar dari kotak masalah. Semua bertemankan kopi segelas. Tentu saja kepulan asap rokok.
Bagi sebahagian orang. Ngopi itu harus di kafe. Karena beberapa alasan. Pertama, kopi berkualitas. Kedua, baristanya berpengalaman. Ketiga, lokasi yang nyaman. Keempat, bisa pamer foto di media sosial.