Anak dara melipat kertas
Kertas dilipat membentuk angsa
Bonus demografi yang berkualitas
Kualitas pemuda memajukan bangsa
Pagi itu ketika membaca harian Kompas 8 september 2016, saya sangat terkejut dan juga kaget. Artikel tersebut terpampang nyata di hadapan saya, namun menjadi buram dan mendung ketika dibayangkan.
Bagaimana bisa? Kok mau? Apa yang dipikirkannya? Sedihnya keluarga yang ditinggalkan, pikiran –pikiran itu menjalar di kepala saya. Bayangkan setiap satu jam, satu orang bunuh diri. Jadi dalam satu hari, bisa saja terdapat 24 orang bunuh diri, dalam seminggu terdapat 168 orang yang mati, bagaimana kalau sebulan, setahun? Berapa jumlah orang yang mati? Berapa banyak yang menangisi? Bergidik saya mengkhayalkannya.
Menurut Koran harian Kompas, bahwa pelaku bunuh diri tersebut rata-rata berusia 15-29 tahun. Usia yang sangat produktif dan cemerlang, namun menyelesaikan hidupnya sendiri karena berbagai macam alasan. Bisa saja karena alasan tak sanggup menanggung beban ekonomi, merasa tidak disayangi/dicintai atau bahkan tidak dibutuhkan, mungkin karena sakit fisik yang tidak berkesudahan atau alasan lainnya yang hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Entahlah..
Kompas memaparkan, menurut data organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2016 bahwa prevalensi bunuh diri di Indonesia mencapai 3.7 per 100.000 penduduk dan Indonesia menduduki peringkat ke-114 di dunia dengan angka bunuh diri tertinggi. Tujuh puluh lima persen (75%) kasus bunuh diri terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Miris sekali melihat data di atas, apalagi usia-usia produktif yang menjadi generasi penerus bangsa yang melakukan tindakan bunuh diri paling banyak. Belum lagi kita juga sering mendengar tentang penggunaan narkoba dan seks bebas dikalangan remaja. Data dari BKKBN tercatat sekitar 5.1 juta penduduk menggunakan narkoba, tercatat pula jumlah para penduduk usia produktif di dalamnya.
Jika para penduduk usia produktif dan menjadi penerus bangsa begitu, bagaimana kita bisa maju, bagaimana kelanjutan bangsa ini? Mungkin pemikiran itu yang banyak mucul di benak setiap kita.
Namun ketika kita melihat dan mendengar nama-nama seperti Joey Alexander seorang pianis muda Indonesia berusia 11 tahun yang memukau publik New York dengan permainannya, Fery Unardi seorang co founder dan CEO Traveloka, pasangan ganda campuran Owi dan Butet yang sukses mendapatkan medali emas dalam olimpiade, Peggy Hartanto seorang desainer dengan label Hartanto dimana karyanya digunakan selebritis dunia sebut saja Gigi Hadid dan Lindsay Lohan, tentunya gairah bangsa pun turut bangkit mendengar prestasi mereka.
Masih banyak anak-anak bangsa yang berprestasi dan berniat untuk maju. Masih banyak generasi-generasi yang bisa diandalkan dan menjadi kebanggan bangsa, namun di balik itu terdapat pula potensi –potensi generasi yang masih terpendam dan generasi usia produtif yang memerlukan pertolongan akan masa depananya. Ketimpangan potensi dan kemampuan generasi penerus bangsa tentunya menjadi masalah kelak menghadapi ledakan penduduk setiap tahunnya.
Pemuda adalah pribadi yang sangat luar biasa. Memiliki kekuatan fisik dan semangat yang lebih dibandingkan anak-anak dan orang tua. Pemuda dikatakan juga orang-orang yang berusia produktif, mampu melakukan hal-hal fantastis, hal-hal besar, bahkan mampu mengguncang dunia. Tumpuan suatu bangsa tergantung kepada pemuda bangsa tersebut. Sejarah mencatat, bahwa pemuda berperan aktif dan sangat berpengaruh untuk kemajuan bangsa Indonesia. Sebut saja sumpah pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 oktober 1928, gerakan-gerakan pemuda yang menantang penjajah, dll.
Peranan usia produktif/ pemuda sangat besar bagi kemajuan ataupun kemunduran suatu bangsa. Indonesia diprediksikan mendapatkan ledakan jumlah usia produktif/ pemuda di tahun 2020-2030. Ledakan jumlah usia produktif tersebut disebut sebagai bonus demografi.
Bonus Demografi
Indonesia diprediksikan akan mengalami bonus demografi di tahun 2020-2030. Dimana jumlah usia produktif (15-64 tahun) diperkirakan mencapai 70% dibandingkan usia non produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) yang hanya 30%. Pada fase bonus demografi tingkat ketergantungan penduduk tidak produktif kepada penduduk produktif cenderung rendah tampak seperti diagram berikut
Bonus demografi ini dapat menjadi kesempatan untuk negara menjadi lebih maju ataupun malah mengalami kemunduran. Bonus demografi seperti dua sisi koin yang bisa menguntungkan atau membuntungkan, tergantung tampilan koin mana yang tampil.