Lihat ke Halaman Asli

Andri Oktovianus Pellondou

Saya senang dunia Filsafat, Sains, dan ilmu Sosial

Habermass dan Kontestasi Politik di Indonesia

Diperbarui: 17 April 2019   06:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Andri Oktovianus Pellondou, M.Si

Pilpres sudah di depan mata. Besok masyarakat akan beramai ramai menuju TPS untuk memberikan suaranya. Setiap pendukung mungkin bertanya, siapakah yang akan terpilih? Atau bagaimanakah hasil pilres nanti? Jawaban dari pertanyaan ini akan diketahui setelah pilres selesai dilaksanakan dan hasilnya diumumkan.

Sambil menunggu jawaban untuk pertanyaan siapakah yang akan memenangkan pilpres kali ini, ada satu pertanyaan yang juga tidak boleh dilewatkan, yaitu bagaimana proses politik menuju pilpres? Pertanyaan ini penting karena hasil bisa ditentukan oleh proses. Maka proses yang baik bisa membawa hasil yang baik. 

Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mengajak pembaca untuk berefleksi sejenak ke belakang untuk melihat kontestasi politik sebagai proses politik menuju pilpres. Bagaimana kontestasi politik menjelang pilpres 2019? 

Kontestasi politik menjelang pilpres menjadi fenomena dunia maya maupun dunia nyata.  Setiap orang bisa menyaksikan dan terlibat dalam kontestasi karena sudah ada ruang yang bisa diakses oleh siapa saja yang disebut ruang publik. 

Dalam ruang publik setiap orang bisa menyampaikan pendapatnya dan mengkritisi kubu yang tidak disukainya. Hal ini didukung oleh asas demokrasi yang memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk menyuarakan aspirasinya sesuai hati nuraninya.

Adanya kesempatan dalam ruang publik politik untuk siapa pun bisa menyampaikan pendapatnya merupakan suatu prakondisi yang baik, namun sangat disayangkan karena fenomena kontestasi politik yang dinampakan menunjukan adanya kebebasan yang tak beraturan.  Pluralitas dan kompleksitas kepentingan, nilai, karakter, dan bahkan standar, bercampur baur tak karuan hingga tak ada garis batas antara fakta dan hoaks, rasional dan irasional, antara validitas dan invaliditas, antara sesat pikir dan ketepatan berpikir.  Alasan kerumitan berpikir, atau alasan iman yang tak membutuhkan intelek menjadi argumen untuk melawan pertimbangan yang rasional.  Kerumitan ini menjadi masalah bagi para elite, apalagi masyarakat biasa.

Menyaksikan fenomena ini, muncul pertanyaan, apa yang perlu diperbaiki dalam menghadapi fenomena seperti ini? Apakah sistemnya yang harus diperbaiki? Ataukah para aktor yang terlibat? Yang pasti tak ada satu pun yang dikambing hitamkan demi yang lain, karena sistem yang terbaik pun membutuhkan aktor-aktor yang terbaik. Begitu juga aktor-aktor yang terbaik membutuhkan sistem yang terbaik.

Dalam konteks penulisan ini penulis mengajak pembaca untuk mengenal pemikiran seorang pemikir yang bernama Jurgen Habermass dan setelah itu pembaca mencoba untuk berefleksi mengenai prakondisi yang dibutuhkan sebagai lahan subur untuk bisa mengimplementasikan pemikiran Habermass dalam kontestasi politik di Indonesia. Bagaimanakah pemikiran Habermass itu? Dan apakah pemikiran Habermass ini relevan untuk diimplementasikan di Indonesia?

A. Habermass dan Pemikirannya

Jurgen Habermass, demikianlah namanya, adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman yang mengkritisi dua paham besar yaitu liberalisme dan komunitarianisme. Habermass mengkritisi liberalisme yang mengusung kebebasan namun kemudian membunuh kebebasan itu sendiri dengan cara memprivatisasi agama dari ruang publik (Menoh, 2015: 127).  Implikasi dari privatisasi agama dari ruang publik adalah kehilangannya kebebasan umat beragama di ruang publik untuk menyampaikan aspirasi mereka, padahal menurut Habermass, agama sebagai hati nurani rakyat bisa memberi sumbangsi bagi negara hukum demokratis yang legitim melalui kontestasi di ruang publik.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline