Jakarta, kota metropolitan yang tidak pernah tidur, memancarkan kemilau modernitas dan janji-janji kemakmuran.
Dibalik gemerlapnya lampu-lampu neon dan gedung-gedung pencakar langit, ada kehidupan yang jarang terlihat, tersembunyi dalam bayang-bayang.
Fajar baru saja menyingsing ketika Irwan keluar dari rumah petaknya di kawasan padat penduduk di Tanah Abang. Irwan tinggal bersama sang istri, namanya Wati, dan kedua anaknya. Andi yang berusia lima tahun dan Siti yang baru berumur dua tahun.
Kehidupan mereka sederhana, bahkan bisa dikatakan sulit. Irwan bekerja sebagai tukang ojek online, sementara Wati menjual gorengan di depan rumah.
Pagi itu Irwan harus segera berangkat. Lalu lintas Jakarta yang semrawut memaksanya untuk berangkat lebih awal agar bisa mendapatkan penumpang sejak dini.
Irwan mengayuh motor tuanya dengan penuh semangat meskipun perutnya belum diisi sarapan. Sesekali ia melirik layar ponsel yang menggantung di stang motornya, menunggu notifikasi pesanan masuk.
Di sisi lain kota, Wati juga memulai harinya. Ia menyiapkan gorengan sambil mengawasi kedua anaknya. Andi membantu sebisanya, sementara Siti bermain dengan mainannya yang sudah usang.
Kehidupan mereka sehari-hari bergantung pada pendapatan yang tidak seberapa dari hasil penjualan gorengan dan pekerjaan ojek Irwan.
Setelah menunggu beberapa saat, Irwan akhirnya mendapatkan pesanan. Ia menjemput seorang pegawai kantoran yang terburu-buru ke tempat kerjanya.
Di jalan, Irwan masih harus bersaing dengan ribuan pengendara lain, melawan kemacetan yang seolah tak pernah habis.
Keringat mengalir di pelipisnya, bukan hanya karena panas, tetapi juga karena tekanan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.