Meninggalnya Seorang Cavus
Aku tahu bahwa perang takkan memadang siapa Anda. Kalau Anda lengah, Anda akan mendapatkan peluru atau mortir. Tadi pagi mortir pasukan sekutu meluncur ke dalam lubang pertahanan kami. Banyak mortir yang jatuh pada atas parit namun sedikit mortir yang bisa jatuh ke dalam parit kami.
Akibatnya seorang Sersan syahid. Ia bernama Sersan Ahmad Yildirim yang berasal dari Damaskus kesatuanku memang banyak sekali orang Damaskus. Tidak ada mimpi yang menandakan Orang ini akan mati. Seperti biasa-biasa saja karena aku bukan orang yang dekat dengan orang tersebut. Mulazim tambah stress karena pasukan bantuan tidak ada.
Kenangan dengan Sersan Yildirim banyak sekali walau aku tidak menempatkan dalam buku harian ini. Ia mengajari kami bertahan di parit ini sambil mengusir kesuntukan. Siapa yang tidak suntuk berjaga di tempat ini. Terkadang ada ancaman Mortir atau howitzer yang jatuh ke arah kami. Terkadang sangat sunyi sekali karena musuh juga beristirahat atau menunggu hingga kami lengah hingga mereka bisa menyerang kami.
Ia termasuk orang yang shaleh dan taat beragama. Jangankan sholat wajib, sholat sunnah tidak pernah ditinggalkan terutama sholat dhuhanya. Ia menyempatkan diri sebelum berjaga untuk melaksanakan sholat dhuha 4 rakaat dan kadang ia mendirikan sholat dhuha hingga 12 rakaat. Ia mengajariku secara alami bagaimana ia memimpin pasukan satu regu yang terdiri dari 10 orang yang termasuk diriku, Hanzhalah, Taqiuddin, Ibnu Makmun, Yasir, Abdul Khoir, Al Fadhil, Sinan, Muhamamad Karamanli, dan Ghulan Sanjak. Kelima orang yang terakhir sudah syahid dan ia kini terakhir memipin kamu sebelum beliau syahid juga.
Aku masih ingat ketika ia berjalan di belakang kami yang siap menyongsog pasukan musuh yang berlari ke arah kami. Ia berjalan dan memotivasi kami dan mengingatkan untuk tidak merubah pisir besi yang dapat menguragi keakuratan dari senapan tersebut. Suaranya menggelegar waktu ia menyebutkan jarak musuh dengan jarak pasukan kami. Ia sudah berpengalaman dan nampaknya mampu mengukur dengan akurat tanpa membawa meteran sedangkan saya tidak bisa untuk mengukur jarak dan hanya memahami patokan yang ada seperti gundukan dan jarak antara rumput yang tumbuh atau benda-benda lain yang ada di depan sebagai patokan dan kadang aku menggambar sebagai patokan tersebut.
Oh ya.. Sersan Yildirim juga kawan Paman Muchtar ketika berlatih dengan kesatuan Infantri Jerman. Ia berjanji akan mendukung jika aku melamar anaknya. Ia akan membawa keluarganya ke Jeddah jika itu terjadi. Kalau urusan Muchtar adalah urusannya. Ia akan merekomendasikannya dengan dirinya yang pantas sekali. Ia tentu saja berkata Insya Allah jika Allah mengizinkan.
Pasukan kami ibaratnya rapuh namun Mulazim mengingatkan seberapa berat kesulitan kami semua akan terselesaikan. Ia yakin perang ini akan berakhir walaupun ia sendiri tidak tahu kapan berakhirnya. Ia hanya perwira pertama yang hanya mengetahui di lapangan saja. Kalau yang sudah mendapatkan pangkat Mirliva maka mereka bisa tahu sedikit masalah politik.
"Aku tunjuk kau mendampingiku?"
Aku tentu saja tersentak. Bisa apa aku? Aku bukanlah lulusan sekolah militer namun hanya pelatihan saja, "Tuan, kau pasti salah memilihku aku ingin kau memberikan tugas ini pada orang senior. Aku juga bukan orang Damaskus sedangkan di sini banyak sekali orang Damaskus. Aku kira mereka akan sesama orang Damaskus akan membantu"
"Tidak usah kau hiraukan mereka. Aku ingin mereka agar terbiasa diperintah oleh orang lain karena kebanyakan mereka akan mendapatkan perintah dari orang Turki"