Aku senang sekali main ke rumah kakaku. Ia baik dan pandai dan sering menggajarkanku beberapa ilmu. Ia mengajariku mengenai Ilmu sejarah yang juga saya sukai.
Kakak sepupuku memberikan sebuah buku pelajaran menegnai sejarah meski buku itu tua namun aku sangat menyukainya. Buku tersebut berisikan mengenai peljaran sjearah dunia untuk anak sekolah menengah atas.
Bagian yang paling aku sukai adalah Shalahuddin. Ia adalah panglima perang dari Kesultanan Ayubbiyah yang mampu mengusir Pasukan Salib dari tanah suci Masjidil Al Aqsho. Shalahuddin menghadapi tiga raja dari negara Eropa yakni Richard Inggris, Raja Philipe Agustus yang berasal dari Perancis, Kaisar Frederick Barbossa yag berasal dari Jerman dan puluhan negara menghadapi pasukan Ayubbiyah. Shalahuddinlah yang keluar sebagai pemenang dalam perang tersebut begitu kata bukunya.
Setelah mengkaji beberapa buku dan juga menonton film yang ada di DVD ataupun membaca literatur internet disebutkan bahwa Shalahuddin belum pernah mengalahkan Richard. Saya pikir ini adalah tulisan atau sumber info dari Barat. Sebagai orang muslim, kita wajib tabayyun terhadap informasi yang beredar.
Kalau menurut logikaku bagaimana Richard bisa menang padahal ia meninggalkan tanah suci. Oh, jelas saja karena saudaranya ingin merebut tahtanya makanya ia kembali. Aku mengundang seorang teman yang juga peminat sejarah. Aku menunggu di teras yang berupa bale-bale dan menyiapkan makanan kecil dalam wadah toples bening. Nantinya aku akan suguhkan kopi untuk menambah hangatnya diskusi ini.
Ia datang dengan berjalan kaki dan menggunakan topi demang yang berwarna putih dan bentuknya bundar dan membawa beberapa artikel. Ia segera menyalamiku namanya Ihsan.
Ihsan kemduian menaruh tpinya di tempat gantungan yang aku sediakan. Aku memanggil seorang pelayanku untuk menyajikan kopi luwak yang paling enak.
“Apa kabar Ihsan?”,
“Baik, Saja Conan, Bagaimana kabarmu juga?”
“Baik , juga”
“Begini , aku ini mempunyai masalah mengenai sejarah yang ada pada masa abad pertengahan. Bukankah kita penting untuk menulis sejarah dalam bentuk yang sebenarnya?”
“Aku setuju dengan hal itu. setiap sejarah harusnya ditulis obyektif tidak memihak. Sayangnya, tidak banyak orang penulis yang menggunakan kata obyektif mereka lebih memilih untuk memilih nafsunya sendiri. Kita mau apa kalau mereka yang sudah menulis kita tidak bisa menawarkan alternatif apa?”, katanya sambil meggulung-gulung secarik kertas