Lihat ke Halaman Asli

Andre Zalukhu

Miracle 24

Petani Milenial: Saya Kehabisan Lumpur di Sawah

Diperbarui: 22 Mei 2019   17:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sub Tema : Regenerasi Petani. 

Kubangan lumpur di sawah masih tak beraroma,

Orang-orang bertanya, mengapa sawah tak jua beranak?

Pak Tua menjawab, "Karena di sana tak ada mantra..."

Sepenggal syair di atas adalah sindiran yang penulis tulis sebagai pemanis untuk mengetuk nurani pembaca lintas generasi sekalian, tentang arti tak acuh. Betapa Indonesia adalah sekumpulan suku bangsa yang berdiri di bawah satu bendera, meninggalkan warisan yang sangat berharga bernama; Kemakmuran alam.

Namun pergeseran zaman mulai mengkusutkan benang merah tersebut. Gambaran  yang dihimpun oleh Sensus Pertanian BPS 2018 menunjukkan jumlah petani di Indonesia turun 1,1% setiap tahunnya, dan angkatan dengan rentang umur 45 tahun ke atas berada di persentase 70%, diperburuk berbagai alih fungsi lahan pada industri manufaktur dan properti yang kian masif. Artinya, tren pertanian semakin ditinggalkan generasi muda.  

Hal ini memberi sinyal bahwa generasi ini 'mulai lupa' akan warisannya, atau mungkin mereka tidak lupa hanya berusaha memperbaharui warisan tersebut agar relevan dengan zamannya. Tanah yang makmur adalah warisan bangsa. Kekayaan yang dulunya menjadi rebutan bangsa-bangsa asing hingga Indonesia terjajah ratusan tahun. Dan dengan segala kelimpahan itu, kini generasi muda mulai teralihkan dengan apa yang lebih indah terbias cahaya elegansi zaman.

Rasanya lebih nikmat mencicipi teh rasa mint berbalut cup dengan merk Eropa, dibanding minum wedang jahe di tengah sawah. Seakan kedua tongkrongan ini bak langit dan bumi. Globalisasi memang menyebabkan pergeseran tren gaya hidup, generasi muda bercita-cita relevan dengan apa yang menjadi pusat perhatian di zamannya. Seperti pilot, PNS, CEO populer, trader saham, dan sebagainya dibanding petani dengan asosiasinya yang dekil, bau lumpur, memegang cangkul, bercaping, pendapatan tak seberapa, tak punya daya politik, dan lain-lain. Tidak salah memang jika generasi 'millenial' berpikir demikian mengikuti patron ekonomi di zamannya.

Meskipun fakta di lapangan menunjukkan bahwa petani sejahtera itu ada, petani berdasi dengan asset miliaran rupiah itu ada, bahkan beberapa legislator negeri ini adalah mantan petani kecil sebut saja seperti: Mad Buang (DPRD Serang), Philipus Kami (DPRD Minahasa), hingga Ali Mustofa (DPRD Kota Batu) dan bahkan sosok Presiden USA seperti Abraham Lincoln, Harry S. Truman, hingga Bill Clinton adalah petani di masa mudanya. Namun jika diukur dengan skala, mungkin 1 banding puluhan ribu yang mencicipi posisi itu, dan sedikit yang mengetahuinya.   

Sehingga sebagian orang tersinggung jika dikategorikan sebagai 'masyarakat kelas petani' karena profesi yang paling mudah menggambarkan kondisi pra sejahtera adalah petani. Generasi muda pun terbawa. Jangankan menjadi petani, mendekatinya saja enggan, maka tak heran budaya cibiran adalah bagian dari proteksi. Ketika melihat petani, generasi muda ikut mencibir agar merasa aman di tongkorongannya. Amit...amit deh menjadi petani, pikir mereka.

Apalagi menurut riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) 2015,  hanya 54% responden yang mau melanjutkan profesi orang tuanya sebagai petani, sisanya masih ragu-ragu dengan alasan kesejahteraan yang memprihatinkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline