"Mak, mamak terlalu kuat, sehingga kami semua jadi lemah."
Ini sepenggal kalimat yang disampaikan anak angkat opung boru saya, ketika kami akan mengantarkan opung menuju tempat peristirahatannya yang terakhir di Siraituruk, Porsea.
Aku yang begitu diselimuti duka, sibuk menahan air mata karena stigma "laki-laki tidak boleh menangis" yang sulit kuhilangkan dari kepala, sedikit tersentak manakala Tulang, begitu kami menyebutnya, menyampaikan kalimat itu di depan jenazah opung yang siap untuk di adatkan, sebuah acara penghormatan terakhir untuk beliau yang menurut adat batak Toba sudah Saur Matua. Sebuah pencapaian yang mungkin akan sulit ditandingi oleh generasi batak modern.
Kalimat berikutnya dari Tulang tidak begitu jelas ditelingaku, karena aku berusaha keras mencerna kalimat tadi. Tersirat rasa marah dan kesal sekaligus pujian dan bangga. Kalimat itu terasa seperti pukulan jab telak bagi keturunan kandung opung, secara khusus anak-anaknya yang saat itu, bahkan sampai saat ini, cenderung manja namun tetap dapat hidup enak bin nyaman.
Ya, opung memang begitu sayang dan peduli pada anak-cucunya. Aku dengar sendiri ketika ia berkata akan pensiun dari pajak (pasar) jika semua cucunya sudah jadi sarjana. Cita yang belum kesampaian karena usia yang tidak kompromi. Tapi dibawah pengawasannya, ia hampir mencapai clean sheet itu, karena hanya tinggal sedikit lagi cucunya yang akan bergelar sarjana.
Pendidikan memang penting bagi opung. Maklum, opung doli adalah seorang guru sejarah di salah satu SMA negeri favorit di Medan. Terakhir, ia menjadi kepala sekolah di sebuah SMA negeri di Sidikalang. Opung boru pun demikian. Ia sering bercerita pada kami bagaimana ia meraih nilai sempurna dalam pelajaran matematika di ujian akhir sekolahnya. Ia juga jadi lulusan terbaik di angkatannya ketika lulus dari sekolah keperawatan. Tidak heran ia menuntut hal yang sama dari keturunannya.
Opung doli dan opung boru mungkin generasi bangsa terakhir yang masih merasakan pahitnya penjajahan. Ibu kerap bercerita, sebelum proklamasi kemerdekaan, opung boru sering menggendong adiknya yang masih balita, kucing-kucingan dengan tentara penjajah yang sering sambang ke kampung tempat tinggalnya. Lingkungan yang keras ini mungkin yang menjadikan opung begitu tangguh, seperti tidak punya rasa takut, siap menghadapi apapun persoalan hidup yang datang. Tak pernah aku mendengarnya mengeluh. Tidak seperti generasi sekarang, sedikit-sedikit melenguh seperti lembu hendak disembelih.
Aku mengibaratkan opung, baik opung doli maupun opung boru, seperti sepasang gunung kembar yang sejuk, dimana kami bisa berlarian di lembahnya tanpa rasa khawatir, karena kami tahu mereka akan selalu ada untuk memberi dan menyediakan apa yang kami butuhkan. Bahkan apa yang kami inginkan.
Secara pribadi, aku memiliki perasaan sedih karena tidak sempat melakukan hal berarti untuk opung semasa ia hidup. Bahkan ketika menghabiskan waktu kuliah selama empat tahun di rumah opung, aku lebih banyak mengikuti ego, lupa kalau waktu ada batasnya, dan opung juga bukan pengecualian. Aku juga merasakan "kuatnya" opung, dan terbuai, terlambat lepas landas, banyak habiskan waktu untuk pepesan-pepesan kosong.
Selamat beristirahat di keabadian opung ku sayang. Aku selalu berterima kasih kepada Tuhan setiap mengingat kebaikan-Nya, menjadikan kita bertalian, membiarkan darahmu mengalir dalam hidupku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H