Lihat ke Halaman Asli

Andrew Ramadhan

Keterangan

Memahami Tensi Panas Prancis dan Komunitas Muslim Dunia

Diperbarui: 30 Oktober 2020   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Reccep Tayyip Erdogan (Kiri) dan Emmanuel Macron (Kanan). AFP/LUDOVIC MARIN 

Perdebatan di lini masa media sosial belakangan ini ramai memberitakan mengenai pernyataan Presiden Turki. Reccep Tayyip Erdogan mengatakan Emmanuel Macron perlu memeriksa "kesehatan mental" dirinya. Pernyataan tersebut menanggapi pidato kepresiden Macron pada tanggal 2 oktober 2020 serta pernyataan paska pembunuhan seorang guru di Prancis, Samuel Patty pada 16 Oktober 2020.

Oleh karena pernyataan tersebut, Emmanuel Macron memutuskan untuk memanggil pulang duta besar Prancis untuk Turki pada 25 Oktober 2020. Menurut situs Kementrian Luar Negri Prancis, keputusan tersebut diambil atas dasar ketidakhadiran solidaritas dari pemerintah Turki untuk mengutuk aksi penyerangan tersebut, serta celaan oleh Kepala Negara Turki terhadap Presiden Prancis.

Hujan Kritik Terhadap Macron

Menurut Erdogan dilansir dari sumber media Turki, Anadolu Agency, perlakuan perasaan benci terhadap umat Muslim di Eropa bagai penyakit, terutama dari para pemimpin di Eropa. Pernyataan ini juga direspon berbagai elemen di negara lain, baik dari politisi maupun masyarakat umum yang mengecam, berunjuk rasa, dan memboikot produk Prancis.

Perdana Mentri Libya juga menanggapi pernyataan Emmanuel Macron yang menyatakan bahwa Islam adalah agama krisis dan berupaya untuk menangkal separatisme Islam di Prancis. Menurut Saad Hariri, menghina Nabi Muhammad sama dengan menyakiti perasaan umat Muslim di dunia.

Kecaman juga hadir dari parlemen Prancis yang merupakan oposisi Emmanuel Macron. La France Insoumise yang merupakan partai sosial demokrat dengan spektrum politik sayap kiri dan dipimpin oleh Jean-Luc Mlenchon, menyatakan bahwa upaya Macron menstigmatisasi umat Muslim adalah upaya Macron untuk menutupi ketidakmampuannya menjawab isu kesehatan (penanganan Covid-19) dan isu sosial. 

Menurut anggota dewan dari partai tersebut, Macron berbicara mengenai Islam radikal namun tidak mampu memfokuskan kepada akar permasalahan untuk mengurangi kesenjangan kelas sosial.

Solidaritas Uni Eropa dalam Mempertahankan Nilai Kebebasan

Dalam menyikapi kritik terhadap dirinya dan boikot yang dilakukan terhadap produk dari negaranya, Emmanuel Macron pada pidatonya 22 Oktober 2020 untuk mengenang Samuel Patty mengatakan, bahwa Prancis tidak akan berhenti menjunjung kebebasan dan sekularisme, tidak akan berhenti terhadap represi untuk karikatur dan gambar. 

Selain itu melalui Kementrian Luar Negri Prancis, Prancis mengecam tindakan boikot, protes yang berkembang terhadap negaranya serta penyerangan secara langsung terhadap negara dan bisnisnya yang beroperasi di seluruh dunia. Kementrian Luar Negri Prancis memastikan keberlangsungan usaha mereka di luar negri dan keselamatan diasporanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline