Lihat ke Halaman Asli

Jangan Remehkan Dampak dari Game Kekerasan

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejujurnya tidak banyak komentar atau pemikiran yang muncul di benak saya tentang terus terulangnya kasus pembunuhan massal di AS. Namun dari yang saya dengar, keluarga si pelaku penembakan memang cukup intens mengenalkan senjata pada anaknya tersebut, termasuk melalui game yang berlabel Mature.

Pada masa2 menjelang penerimaan rapor seperti saat ini, kebanyakan pelajar hanya punya agenda kegiatan class meeting. Seringkali para pelajar ini pulang lebih awal, dan sebagian memutuskan untuk "kabur" dari sekolah. Tren yang saya baca, kebanyakan dari mereka akan menyempatkan diri untuk mendatangi warnet terdekat. Berdasarkan pengalaman saya beberapa kali mengunjungi warnet, dan dari hasil mencuri dengar, saya mendapati bahwa kebanyakan dari mereka (yang berseragam SD/SMP) langsung membuka aplikasi Online/Multiplayer Game. Game yang paling sering diakses adalah jenis first person shooting (FPS) yang di antaranya berjudul Point Blank dan Counter Strike.

Game FPS tersebut adalah game yang mensimulasikan bagaimana seorang polisi melakukan penggerebekan terhadap sekelompok teroris. Yang agak "miring", pemain juga diperbolehkan memilih peran sebagai pihak teroris. Berdasarkan rating-nya, game PB diberi kode T untuk Teen (id: remaja, 13+), sedangkan game CS diberi kode M untuk Mature (id: dewasa, 17+). Kedua permainan tersebut ternyata sama-sama mengandung konten violence (id: kekerasan). Lebih lanjut baca di situs ESRB.

Beberapa psikolog dan pemerhati anak pernah mengatakan bahwa konten kekerasan ini sedikit/banyak akan memengaruhi proses perkembangan anak. Untuk dampak yang lebih detail, silakan Anda Googling lebih lanjut (eg. detikHealth). Yang saya dengar dari salah satu talk show di RRI,  seorang dokter ahli Neuro Science nasional pun mengamini kondisi ini. Yang pasti kondisi ini tidak bisa diremehkan.

Tren yang juga saya tangkap adalah masih banyak orang tua yang membiarkan anaknya bermain tanpa pendampingan. Mereka dibiarkan pergi ke rental PS atau warnet bersama teman2-nya. Kalau zaman dahulu diajak main bentengan (nama permainan tradisional) atau main sepak bola saja sih memang tidak ada masalah. Tapi untuk permainan video, ini adalah masalah yang sama sekali berbeda. Eh, boro2 mendampingi anak bermain game. Untuk mendampingi anak dalam memilih tontonan televisi saja (rasa2-nya) susahnya minta ampun.

Jadi jika tawuran semakin menjadi tren di tahun ini, mungkin tahun depan tren-nya akan semakin bertambah parah (amit2), jika kita semua kurang perhatian terhadap generasi muda kita. Cukup menakutkan bukan bila membayangkan apa yang terjadi di AS suatu saat akan terjadi di negeri kita ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline