Lihat ke Halaman Asli

Kurikulum 2015?

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: internet/old-and-abbey-church.org.uk

[caption id="" align="aligncenter" width="377" caption="Sumber: internet/old-and-abbey-church.org.uk"][/caption]

Batin saya langsung meringis selepas membaca pernyataan terbaru dari Pak Nuh di artikel Pemerintah Baru Bakal Pertahankan Kurikulum 2013 (Jawa Pos). Beliau berpikir bahwa Kurikulum 2013 merupakan program yang sangat mungkin akan dilanjutkan oleh kepemimpinan berikutnya. Di sisi lain, saya pribadi agak kecewa juga dengan judul artikel tersebut, terutama pada kata "bakal". Tetapi tak apalah, artikel JPNN sudah sering membuat saya kecewa dan saya tak ingin ambil pusing.

Apa sebenarnya yang salah? Sebenarnya di atas kertas kurikulum ini bisa dikatakan mendekati sempurna. Masalahnya baru muncul di lapangan: apakah birokrasi (dan SDM pendidikan lainnya) sudah siap? Saya pribadi yang berada di lapangan merasakan hard shifting yang kurang mengenakkan. Oke. Mungkin ini dampak dari sebuah perubahan. Tetapi kenyataannya di lapangan banyak hal yang begitu mengarah ke kondisi tidak siapnya berbagai pihak.

Hal pertama adalah kesiapan buku (yang katanya buku babon). Sepertinya tahun ini pengirimannya di daerah saya juga "agak" meleset dari rencana semula. Saya tidak yakin karena sekolah saya bukan sekolah target, namun saya melihat kecenderungan keterlambatan di sekolah-sekolah tersebut begitu besar. Oke, sebut saja dasar saya kurang kuat untuk poin yang ini.

Hal kedua adalah pelatihan guru sasaran yang terkesan "instan". Diadakan 5 hari (di Jawa Timur) termasuk hari Minggu, dilakukan secara maraton, dan guru kelas yang telah mengikuti pelatihan harus (atau diharapkan?) benar-benar mengajar di kelas sesuai dengan hasil pelatihan. Padahal, data yang digunakan sebagai dasar undangan pelatihan adalah data (SIM Padamu Negeri) tahun ajaran 2012/2013. Sangat mungkin di 2 tahun terakhir ini telah terjadi "pengocokan" guru kelas bukan?

Bagaimana nasib kurikulum kita ke depan (pasca pilpres nanti) memang hanya Tuhan yang tahu. Dari kedua pasang calon yang ada sih sepertinya telah "bersepakat" untuk menerapkan kurikulum yang lebih berkualitas. Yang satu dengan penekanan pada pendidikan kewarganegaraan yang lain justru tidak menyebutkan secara jelas, namun lebih menekankan pada akses pendidikan yang lebih baik. Apakah ini artinya akan ada kurikulum baru? Tidak pasti memang.

Jadi tidaklah salah apa yang dikatakan Pak Nuh. Kurikulum 2013 memang sudah meningkatkan porsi karakter dengan menetapkan Kompetensi Inti (KI) nomor 1 yakni aspek spiritual dan KI-2 yakni aspek sosial, dan nantinya akan muncul sebagai nilai sikap di laporan hasil belajar peserta didik (rapor). Di K '13 porsi aspek kognitif pada jenjang sekolah dasar juga sudah dikurangi sehingga porsi sikap lebih diprioritaskan dengan memberi beban yang lebih banyak.

Bagaimana dengan fakta di lapangan? Ketakutan baru yang muncul adalah waktu guru kelas akan habis untuk membuat RPP Tematik. Mengapa demikian? Karena dalam 1 pembelajaran saja (artinya pengajaran dalam 1 hari), di dalamnya harus memuat pendekatan ilmiah (scientific) sesuai dengan Permendikbud 81A lampiran 4. Belum lagi di dalam pembelajaran harus memuat 2-5 muatan pelajaran (dahulu disebut mata pelajaran/bidang studi) yang juga harus ada penekanan pada pendidikan karakter untuk jenjang sekolah dasar. Plus di kelas, waktu guru akan dihabiskan untuk observasi guna mengisi format penilaian yang menggunakan pendekatan authentic assessment. Padahal, berdasarkan paparan para pembuat kurikulum ini,kesimpulan saya: filosofi dari kurikulum ini telah dikembalikan pada kurikulum yang bersifat sentralistik (telah disiapkan segala sesuatunya, guru tinggal mengeksekusi saja).

Bila tulisan ini terdengar hanya seperti keluhan-keluhan saja, Anda belum melihat keseluruhannya. Karena sesungguhnya saya hanyalah seorang guru baru yang berempati pada guru-guru yang lebih senior. Apa yang rekan-rekan saya rasakan sesungguhnya mungkin lebih menakutkan karena pastinya zona nyaman mereka sedemikian diguncang dengan adanya kurikulum baru ini.

Bagaimana pun saya ingin berada di pihak yang ingin berubah, ingin mengembangkan zona nyaman dengan memelajari hal baru, sesuai dengan kata-kata panutan saya, Prof. Rhenald Kasali. Let's Change!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline