Pebisnis Tapi Alergi Politik, Mungkin Nggak Ya?
Oleh: Andre Vincent Wenas
Dalam semua buku teks dan studi kasus di sekolah bisnis, terutama di MBA program, selalu diajarkan tentang strategi bisnis. Teori ala Sun Tsu yang di-barat-kan, didiskusikan mengenai cara membaca medan perang, istilahnya membaca "business landscape", atawa "business environment", kenali dan selalu waspadai lingkungan bisnis anda.
Ini karena kita semua, dari sudut pandang bisnis, tidak berada dalam ruang hampa. Kita senantiasa berinteraksi dengan entitas lainnya dalam suasana sosial politik tertentu. Lingkungan bisnis senantiasa dinamis, dan semua faktor bisa saling mempengaruhi, secara langsung maupun tidak langsung.
Maka dikenallah istilah PESTEL, kependekan dari Politic, Economy, Social, Technology, Environment, dan Legal atau Law sebagai pagar-pagar yang membatasi (mengatur) interaksi sosial kita. Agar tercipta ketertiban umum.
Membaca PESTEL tidak boleh baperan yang kemudian jadi subyektif, yang lain pasti salah, sehingga analisa kita jadi bias. Kalau analisa lingkungan bisnis sudah bias maka apa yang bisa diharapkan dari obyektivitas dan ketajaman "business acumen" kita?
Misalnya, kita sedang mendiskusikan suatu studi kasus (case-study) mengenai bisnis infrastruktur internet di Indonesia. Kita pasti juga memetakan beberapa kasus mutakhir di seputaran proyek BTS (base transceiver station).
Siapa para pemain yang ada, apa yang barusan terjadi pada mereka, dan apa yang kira-kira bakal terjadi akibat peristiwa itu semua. Ternyata bisnis BTS itu besar sekali skalanya, tahapan pertama saja bernilai 10 triliun.
Tapi kondisi faktual juga menceritakan bahwa bisnis segede itu, dimana pun, selalu melibatkan para "public policy makers" (para pejabat publik). Apalagi kalau proyek itu adanya di Kementerian, sudah pasti peta politik di belakang benak para "policy makers" itu mesti diperhitungkan.
Atau dalam bisnis garmen, siapa para pemainnya, apa regulasi yang ada dan yang mempengaruhi bisnis ini. Semua dihitung. Ada importir garmen branded baru, ada pula importir garmen branded tapi bekas. Ada pemain tekstil (mereka yang bikin kainnya) dengan berbagai warna dan motif, bikin kancing, bikin retsleting, sampai ke para desainer. Ada pula para distributor dan pedagang ecerannya, dan seterusnya sepanjang rantai pasok (supply-chain) bisnis ini.