*Penumpukan Utang BUMN, Kritik Adian Napitupulu dan Progres Restrukturisasi*
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Pertama-tama kita hargai kritik yang disampaikan Adian Napitupulu (anggota DPR-RI dari Fraksi PDIP) soal tumpukan utang BUMN yang katanya sebesar Rp 5.600 tiliun itu.
Angka itu katanya diperoleh dari beberapa sumber, sayangnya tak disebutkan sumbernya dari mana saja, dan apakah angka hasil konsolidasi teraudit atau belum.
Namun demikian, kritik yang sehat akan membangun sikap waspada untuk selalu bebenah diri. Dan itu baik adanya.
Sementara itu, staf khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menyampaikan dengan yakin bahwa utang usaha BUMN adalah Rp 1.500 triliun. Katanya itu data terbaru, walau tidak dijelaskan seberapa baru dan apakah angka teraudit atau belum.
Kedua sumber angka utang BUMN itu, yang dari Adian maupun Arya, nampaknya tidak jelas validitasnya.
Bagai gayung bersambut, kritik Adian itu memperoleh tanggapan serius dari staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo. Disampaikannya bahwa berdasarkan laporan tahun 2019 total utang BUMN adalah Rp 6.070 triliun. Lebih besar memang, namun itu termasuk catatan 'utang' (dana pihak ketiga) di unit-unit bank BUMN sebesar Rp 2.842 triliun.
Sehingga yang disebut utang usaha BUMN adalah sebesar Rp 3.228 triliun. Penyampaian Yustinus nampaknya lebih meyakinkan, juga disebutkan per catatan pembukuan 31 Desember 2019. Jadi posisi waktu keuangan jelas.
Perdebatan soal angka yang akurat bagi kita hanyalah soal koordinasi saja. Namun yang ingin kita soroti lebih jauh adalah soal pemahaman utang usaha BUMN itu sendiri. Bagaimana kita memahami soal penumpukan utang ini?
Kita ambil contoh kasus di salah satu unit BUMN. Belum lama ini PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) menuntaskan program restrukturisasi utangnya yang fantastis, US$2,2 miliar atau sekitar Rp 30 triliun.