Lihat ke Halaman Asli

Andre Vincent Wenas

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Masyarakat Tissue-Basah, Sekali Pakai Dibuang para Petualang Politik

Diperbarui: 11 Juni 2020   06:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Masyarakat pemilih (voters) sebentar lagi bakal jadi relevan kembali, Dalam Pilkada serentak yang rencananya diselenggarakan pada Desember 2020. Atau kalau pun ditunda, gegara pandemi Covid-19, ya di semester awal 2021. Fenomena masyarakat tissue-basah, sekali dipakai lalu dibuang, bakal muncul lagi. Siklus lima tahunan.

Di mata para petualang politik, rakyat yang lugu hanyalah dipandang sebagai komoditas lima tahunan. Seperti layaknya tissue-basah, habis dipakai untuk melancarkan jalan menuju kekuasaan ya tinggal dibuang. Sampai jumpa di pemilihan berikutnya.

Politik yang anyir dengan bau uang (mamon) yang disebar untuk menyabot suara Tuhan, itu pun kalau kita percaya bahwa vox-populi vox-dei (suara rakyat itu suara Tuhan).

Atau sebelumnya lewat corong kampanye yang sekedar orasi kosong dengan bumbu janji bohong, lantaran niat awalnya memang hanya untuk mengapitalisasi kepolosan publik.

Rakyat yang memang sengaja dibuat lugu (dungu) agar senantiasa bisa dicocok hidungnya dengan umpan ala kadarnya (lima puluh ribu? atau seratus ribu rupiah?). Tak pernah ada pendidikan politik kritis dan partisipasi cerdas dalam transparansi manajemen politik.

Peri kehidupan sosio-demokrasi kita memang masih belum matang juga. Dalam berkali-kali pemilu, entah itu Pilpres, Pileg, Pilkada (juga Pilkades), praktik politik uang terbukti masih marak dilakukan. Lihat saja sudah berapa skandal di KPU yang terbongkar.

Kasus yang terbongkar itu ibarat pucuk gunung es, sejumput ujung dari bejibun timbunan kasus sejenis di bawah permukaan yang masih belum terkuak kebusukannya.

Di samping itu, ada juga kasus yang sudah diangkat ke permukaan tiba-tiba jadi diam membisu dan membeku, seperti masuk angin atau masuk ke freezer (peti es).

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua sila itu dirangkum oleh Bung Karno menjadi: sosio-demokrasi.

Sosio-demokrasi mengandaikan demokrasi (politik) yang cerdas (hikmat-bijaksana) demi terwujudnya masyarakat yang berkeadilan sosial (menyangkut kesejahteraan-ekonomi yang merata) bagi seluruh rakyat.

Untuk mengawal proses demokrasi yang sejati, yang partisipatif-deliberatif, maka proses politik demokrasinya pun mesti jujur dan adil, yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan pemungutan suaranya bersifat rahasia (jurdil-luber). Bukan sekedar demokrasi prosedural, pura-pura berdemokrasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline