Lihat ke Halaman Asli

Andre Vincent Wenas

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Staf Khusus Presiden, Amartha, dan Etika Bisnis yang Tercoreng

Diperbarui: 16 April 2020   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto staf khusus presiden: KOMPAS.com

Betul, kan, bahwa bisnis/ekonomi tidak terlepas dari dunia politik. Apa yang terjadi dan dipercakapkan koalisi politik di ruang negosiasi terbukti memengaruhi dunia bisnis. Begitu pula sebaliknya. Bisa berdampak baik juga, sih, walau tidak menutup kemungkinan juga bisa berakibat kurang baik atau malah buruk.

Oleh karena itulah, dari sisi bisnis, kita mengenal apa yang disebut etika bisnis. Di sebelahnya ada juga yang namanya etika politik. Keduanya sama-sama berangkat dari etika dasar.

Sebetulnya apa yang telah dikerjakan selama ini oleh PT Amartha Mikro Fintek yang telah memediasi kredit mikro kepada pelaku UMKM adalah baik adanya.

Mungkin mirip dengan GrameenBank di Bangladesh, hanya saja Amartha mulai dengan lebih canggih lantaran menggunakan platform online berbasis IT. Keduanya sama-sama memberdayakan eknomi kerakyatan. Melakukan fungsi intermediasi ke unit-unit usaha mikro yang seringkali enggan dilakukan oleh kalangan perbankan besar. Bagus.

Sampai baru-baru ini nama PT Amartha Mikro Fintek ikut terseret dalam skandal 'Surat Camat'. Itu gara-gara CEO/Founder-nya, Andi Taufan Garuda Putra, yang sudah diangkat jadi Staff Khusus Presiden telah lancang melangkahi prosedur resmi pemerintahan. Kemendes dan Kemendagri terinjak kakinya, dan KSP bingung mau omong apa.

Prosedurnya memang telah ditabrak. Tapi masalah yang lebih mendasar dari itu adalah masalah etika di belakangnya. Kali ini kita mau berbincang sisi etika bisnisnya.

Di laman resmi PT Amartha Mikro Fintek ini, Andi Taufan Garuda Putra, per tanggal 15 April 2020 masih tercantum sebagai CEO/Founder. Teoritis masih pegang kendali, dan praktis sudah terbukti pula dengan skandal 'Surat Camat'.

Sayang sekali memang. Mungkin saja semenjak bosnya masuk dalam lingkaran dalam istana, manajemen Amartha yang tersisa masih terus berupaya menjalankan operasi bisnisnya secara profesional.

Namun lantaran tidak ada suksesi yang jelas dalam manajemennya, siapa yang sekarang mestinya jadi nakhoda organisasi maka kebijakan strategisnya berisiko jadi campur baur. Mana yang urusan Amartha, dan mana yang urusan Istana.

Bagi manajemen Amartha yang pimpinan tertingginya masih campur-sari antara Bisnis Amartha dengan Politik Istana maka etika bisnis menjadi imperatif.

Tim direksi Amartha secara kolektif kolegial seyogianya juga memperhatikan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip yang berlaku dalam etika bisnis dalam bertindak memutar roda bisnisnya. Agar tetap berjalan pada rel yang terhormat, yang 'honorable'.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline