Lihat ke Halaman Asli

Andre Vincent Wenas

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

The Bubatgate, Intrik di Majapahit dan Skandal Politiknya

Diperbarui: 16 April 2020   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar diolah penulis

Konon Putri dari Kerajaan Sunda bernama Dyah Pitaloka itu cantiknya luar biasa. Dikagumi banyak lelaki di sebelah barat Pulau Jawa. Dan kabar tentang kemolekannya bertiup sampai ke ujung timur. Sampai akhirnya terdengar oleh Maharaja Majapahit, Hayam Wuruk.

Utusan pun dikirim, untuk melamar sang putri jadi permaisurinya. Raja Sunda senang bukan kepalang. Majapahit cooyy... penguasa properti, korporasi terbesar di Nusantara, datang melamar.

Ini kesempatan dong, untuk mengamankan diri dan sekaligus bisa merger. Bahkan terbuka kemungkinan untuk bisa jadi konglomerasi atau kongsi partai raksasa. Dan bersama-sama bisa menghegemoni banyak kerajaan lain. Semacam JV (joint venture)-lah begitu.

Untuk detil sisi ilmiah kesejarahannya sila baca buku yang ditulis Prof.Dr. Agus Aris Munandar, 'Gajah Mada, Biografi Politik' terbitan Komunitas Bambu, tahun 2010. Sangat menarik, banyak interpretasi peristiwa sejarah yang baru, paling tidak baru buat saya. Tapi kali ini kita tidak bicara tentang disiplin kepurbakalaan.

Di ruang kecil ini kita hanya mau cerita bebas saja. Juga belajar dari beberapa fenomena sejarah itu sambil menarik hikmah politik. Dari intrik politik di sekitar peristiwa yang disebut dengan Perang Bubat.

Memahami suatu peristiwa sejarah memang menarik dan menantang daya intelegensi yang tinggi. Mesti mencermati konteks peristiwa, latar belakangnya, aktor-aktornya dengan segala kepentingannya, struktur organisasi dan jaringan-jaringannya yang kerap menjelimet. Seperti kerja detektif.

Cerita berlanjut. Raja Sunda pun berangkat mengantar sendiri putrinya bersama rombongan delegasi, lengkap dengan paspampres Kerajaannya. Sampailah di desa Bubat dan beristirahat disana sambil menunggu kedatangan Hayam Wuruk untuk menjemput. Begitu SOP-nya jika mau merger dalam posisi setara.

Tapi apa lacur, yang datang bukan Presdir atau Ketua Partai alias Sang Raja, tapi Sekjen atau GM-nya.

Amangkubhumi Mahapatih Gajah Mada yang datang sambil membawa proposal yang berbeda. Dyah Pitaloka harus diserahkan sebagai selir, bukan calon permaisuri.

Klausul ini sebagai tanda takluk Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Majapahit. Pembicaraan di meja perundingan... atau kalau tidak di meja ya duduk bersila di lantai perundingan itupun memanas. Kandas.

Sampai disini kita sudah tahu akhir ceritanya, bukan merger antara dua korporasi, tapi ternyata yang lebih kecil mau diakuisisi. Bahkan terjadi semacam 'hostile take-over', lewat skandal di Bubat. The Bubatgate.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline