*Apakah Karya Penyelamatan Umat Manusia itu Bersifat Politis?*
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Mendapat kesempatan untuk mengisi sesi di South-East Asia Bible Seminary (Seminari Alkitab Asia-Tenggara) di Malang pada awal bulan Maret 2020 ini merupakan suatu kehormatan bagi saya. Sebuah pengalaman yang sangat berkesan.
Topiknya berkisar soal ekonomi dan sosial-politik, tentu kaitannya dengan berteologi secara kontekstual.
Kali ini kita gunakan istilah politik dalam artinya yang luas. Bukan sekedar politik kekuasaan atau politik praktis yang sering dikonotasikan sebagai perebutan jabatan atau kursi kekuasaan. Walau itu semua adalah juga bagian dari keprihatinan politik secara luas.
Siapa pun yang merasa terpanggil dan peduli (ada keprihatinan) terhadap lingkungan sosialnya pastilah tidak akan apatis terhadap politik.
Misalnya tindakan dari kalangan hirarki para rohaniwan (klerus) yang semulanya tidak bermaksud politis kerap kali tak bisa dipungkiri dampaknya tetap ada dalam konstelasi perpolitikan.
Suatu kritik yang bersifat etis (moral) terhadap praktek korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia tidak bisa tidak akan berpengaruh terhadap pada mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan. Mereka bisa merasa diperingatkan, atau merasa sedang dihina lalu marah.
Upaya advokasi terhadap mereka yang miskin dan tertindas bisa mengakibatkan rentetan reaksi politik dari pihak birokrasi pemerintahan. Walau niatan advokasi itu semata-mata demi perikemanusiaan.
Manakala orang mulai peduli dan prihatin pada kondisi kemasyarakatan, saat itulah ia sudah menjadi elemen dari suatu konstelasi politik.
Komplain mengenai harga dan ketersediaan masker misalnya. Juga soal pasokan sembako, protes soal pelacuran syariah di kawasan Puncak-Bogor, soal banjir, soal cagar budaya Monas, Taman Ismail Mazuki, dan lain sebagainya. Itu semua dilatarbelakangi, atau malah dilatardepani oleh kepentingan dan kebijakan politik.