Lihat ke Halaman Asli

Andre Vincent Wenas

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Menapak Koridor Tengah, dari Memoar Sarwono Kusumaatmadja

Diperbarui: 5 Januari 2020   10:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Memilih untuk berada dalam koridor tengah, menjaga jarak dari elite politik dan mendahulukan peran politik melalui upaya komunikasi publik dan turut membangun sistem.

Saya kira itulah inti sikap dalam kehidupan Sarwono Kusumaatmadja yang tertuang dalam memoarnya yang juga berjudul, "Menapak Koridor Tengah". Dirilis tahun 2018 lalu oleh Penerbit Buku Kompas, setebal total 300 halaman lebih. Mengapa koridor tengah?

Manurut saya, tentunya aman-produktif. Tidak beroposisi frontal kepada rezim otoritarian gaya orba dan bisa produktif, artinya ikut berkontribusi. Sarwono Kusumaatmadja memakai frasa, "...mendahulukan peran politik melalui upaya komunikasi publik dan turut membangun sistem."

Koridor tengah artinya tidak jadi oposisi frontal, dan tidak pula jadi "orang dalam" atau "inner-circle"-nya Soeharto. Begitu maksudnya. Bukan berada di lapangan Monas untuk demo, dan bukan pula ada di ruang keluarga di bilangan Jalan Cendana yang terlalu privat. Mungkin beredar sekitaran ruang tamu saja. Atau ruang rapat dan ruang makan istana atau Bina Graha. Disitu bisa serius bisa pula rileks namun tetap dalam kerangka kerja yang profesional.

Mesti dipahami dulu bahwa memoarnya ini mengambil kurun waktu 40 tahun sejak Sarwono Kusumaatmadja berusia sekitar lima tahun (mulai sadar lingkungannya) sampai ia mengakhiri karirnya sebagai Sekjen DPP Golkar (versi Orde Baru, dan dulu belum disebut sebagai partai). Ia lahir 24 Juli 1943, jadi memoarnya bertutur tentang banyak peristiwa antara tahun 1948 sd 1988. Janjinya ia akan meneruskan dengan memoar jilid kedua.

Koridor Tengah mengandaikan keseimbangan, keseimbangan antara tarikan dari sekitarnya. Soal ini baru ditegaskannya dalam Bab terakhir (Bab 4), berjudul "Teguh di Koridor Tengah".  Sementara  Bab 1 berjudul "Bocah Kagok dari Sentiong" bertutur tentang masa kecil sampai masa muda dan latar belakang keluarga serta peristiwa sekitarnya.

Bab 2 "Aktivisme dan Awal Menjadi Politisi" bercerita tentang kisah perpeloncoannya di PMB (Perhimpunan Mahasiswa Bandung), dan banyak romantika seorang aktivis mahasiswa (ia kuliah di Teknik Sipil ITB). Dan baru lulus dari ITB tahun 1974 saat ia sudah berusia 31 tahun dan telah ditunjuk menjadi anggota DPR-RI dari Gokar.

Di masa inilah muncul kasus besar Pertamina yang menyangkut dana hampir USD 100 juta atas nama salah satu direksi Pertamina Ahmad Tahir. Kasus ini muncul saat Tahir meninggal dan disusul sengketa keluarganya yang berebut warisan. Ternyata ada simpanan uang sangat besar (100 juta dollar!) atas namanya rekening Bank Sumitomo di Singapura.

Kasus Tahir ini mencuat ke publik dan jadi ramai. Penyidikan dilakukan dan ternyata Pertamina bisa melakukan gugatan hukum untuk memperoleh uang itu.

Bab 3 "Politisi Penuh Waktu di Lingkaran Luar Elite". Berkisah tentang pelbagai peristiwa tentang Golkar dan peran dari seorang Sarwono Kusumaatmadja sebagai politisi muda.

Berkiprah di dunia politik secara full-timer sejak muda membuat dirinya seolah otodidak dalam percaturan dunia politik. Ditempa langsung oleh praktek politik lewat banyak peristiwa semasa orde-baru lewat Golkar berupaya menancapkan kuku kekuatannya. Wacana pembaruan struktur politik, konsolidasi di tubuh Golkar, dan lain rupa peristiwa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline