Lihat ke Halaman Asli

[Review] Bulan Diatas Kuburan: Film Bagus yang Miskin Detail

Diperbarui: 11 Maret 2016   10:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"Because Any Fool can Criticize"

Iseng telunjuk saya menekan kursor inflight entertainment saat berada dalam penerbangan di maskapai nasional yg logonya tertera di kostum Liverpool. Akhirnya saya putuskan untuk memilih menu "Movies". Dua film saya tonton tapi tidak sampai 5 menit karena kesan pertamanya tidak impresif. Sampailah pada film ketiga, "Bulan Diatas Kuburan". Nah ini... kesan pertama begitu menggoda (mirip iklan es krim magnum). Sekilas pandang Danau Toba & nuansa musik batak telak menghantam naluri kedaerahan saya untuk melanjutkan menonton. Lagian sudah lama tidak nonton film nasional. "Pendekar Tongkat Emas" adalah film nasional terakhir yg saya tonton. Film yg menurut saya keren secara sinematografi & pengarahan seni. Gak sadar, ekspetasi tinggi pada film "BDAK" tertanam di benak saya.

Film ini cukup panjang untuk ukuran film nasional. 1 jam 55 menit. Karena itu, butuh dua penerbangan untuk menontonnya secara utuh, pas dengan itinerary, Jakarta Balikpapan PP. Film ini disutradarai oleh Edo WF Sitanggang, dan berdasarkan hasil googling saat menulis artikel ini, ternyata film ini merupakan remake dengan judul yg sama produksi tahun 1973 & disutradarai Asrul Sani. Bercerita tentang dua orang pemuda batak Sahat & Tigor yg merantau dari Pulau Samosir ke Jakarta. Kerasnya kehidupan ibukota, sindiran klise kehidupan sosial dan carut marut politik negeri menjadi fondasi cerita.

Alur cerita berjalan lamban. Pergerakan kamera yg "loyo" memberikan saya rasa tidak sabar...(hmmm, mungkin terlalu naif utk membandingkannya dengan "Birdman" atau bahkan dengan yang lebih sederhana seperti  "The Descendant"...tapi bukankah kita harus melihat keatas utk dapat memperbaiki diri?). Film ini juga nyaris tanpa detail. Saya dipaksa menarik kesimpulan sendiri mengenai banyak hal. Pertanyaan standard berkali muncul di benak. Apa hubungan Sahat n Tigor? Siapa tokoh Guru ini? Mengapa naskah bisa jatuh ke tangan politisi? ...adalah diantaranya. Mungkin waktu adalah pertimbangan sang sutradara untuk tidak menyuguhkan detail. Kalau benar, sungguh ironis karena banyak adegan tak perlu bisa di cut dari film ini. Salah duanya adalah scene perjalanan bus yang menghadirkan tokoh pria parlente (hari gini masih naik bus dari Samosir ke Jakarta? Come on lae Tanggang, you must be kidding me...Kalau ingin memperlihatkan keterbatasan dana, perjalanan menumpang truk lebih masuk akal) dan dialog gak penting Sahat & Mona dengan background kafe. Ada juga bagian yg terkesan dipaksakan. Saat tokoh Sabar manortor (tarian khas Batak) di awal cerita dan pendeklarasian bos bosnya Sahat sebagai presiden sungguh amatlah berlebihan (Keknya gak adapun capres mengedepankan kesukuannya saat kampanye. Kalau capres diganti jadi cagub Sumut akan lebih masuk akal...ai dia do lae).

Gabungan dari hal buruk diatas menyebabkan film ini kehilangan common sense. Namun yang paling mengecewakan adalah buruknya sinematografi. Saya tentu berharap sutradara & sinematografer mengeksploitasi habis habisan Danau Toba & Samosirnya. Itu akan jadi suatu kekuatan yg mampu membawa penonton seperti berada di tempat sebenarnya. Oh, betapa saya merasakan hawa dingin virtual saat menonton "The Revenant" atau seketika merasa keringnya tenggorokan kala menyaksikan "Mad Max - Road of Fury".

Bagi saya, kekuatan film ini (hingga menahan saya menontonnya sampai habis) adalah karakter para tokoh & moral ceritanya.  Tigor yang tidak cerdas namun memegang nilai universal kehidupan, sungguh berkesan bagi saya. Betapa dia ber-payah payah menolong Sabar (yang selalu dia panggil bang) menunjukkan arti brotherhood yang sesungguhnya...Brother, I will come for you, whatever the cost. Sabar pun punya keunikan sendiri. Karakternya yg easy going secara tak langsung mengajarkan saya perlunya menikmati hidup dalam keadaan sesulit apapun. Lalu Marni, istri Sabar, merupakan penggambaran istri yg setia & mencintai suaminya dengan tulus. Tokoh Marni bahkan sempat, memaksa saya sekilas mengidamkan perempuan sepertinya. Kelebihan lain film ini yg membuatnya layak tonton adalah ke-mumpuni-an para pemainnya. Pemain junior seperti tertantang oleh seniornya untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Hampir tidak ada akting canggung (sekali lagi akting ya, bukan adegan). Hampir? Ya, hampir karena bagi saya tokoh Anisa terasa masih kurang cair.

Layak untuk ditonton adalah nilai yg saya beri utk film ini. Sebenarnya apabila lebih detail, film akan menjadi film yang bagus. Miskinnya logika men downgrade-nya. Awalnya menonton film ini untuk mengusir rasa bosan, namun di akhir saya menikmatinya sebagai sebuah tontonan yg layak & meninggalkan kesan. Ditambah dengan soundtrack apik, memberi rasa tersendiri...apalagi kalau yang nonton adalah pemuda Batak seperti saya. Sayapun tak ragu untuk merekomendasikan film ini untuk anda tonton, baik dalam penerbangan anda selanjutnya ataupun dengan membeli DVD aslinya.

Semoga industri perfilman negeri ini semakin hebat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline