Omnibus Law UU Cipta Kerja yang digagas oleh Presiden Jokowi Widodo menjadi perbincangan hangat di kalangan pemerhati hukum dan pemerintahan. Gagasan baru dalam konsep hukum ini diyakini akan menimbulkan perdebatan panjang karena tidak hanya menjadi konsep baru dalam tradisi berhukum Indonesia, tetapi juga akan berimplikasi pada relasi kekuasan baik vertikal maupun horizontal.
Pada prinsipnya Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak mengenal negara dalam negara (state in the state), tetapi mengacu pada konsep pembagian kekuasaan (distribution of power) dalam bentuk otonomi daerah melalui azas desentralisasi, dekonsentrasi, serta tugas pembantuan (medebewidn). Peran dan dominasi pemerintah pusat sebagai negara kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta merumuskan regulasi perundang-undangan pasti lebih besar, termasuk dalam mengatur kewenangan yang akan didelegasikan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi maupun Kabupaten / Kota di Indonesia.
Sementara konsep Omnibus Law memang seringkali diterapkan oleh negara yang menganut sistem common law, sehingga penerapan Omnibus Law di negara penganut sistem civil law seperti Indonesia sudah pasti menjadi pemebicaraan yang masih asing. Sementara bagi Indonesia sendiri, sistem hukum saat ini juga harus mampu dipastikan apakah sudah menerapkan civil law secara sepenuhnya.
Indonesia seharusnya tidak bisa "dipatok" sepenuhnya sebagai negara civil law karena dalam praktek berhukum selama ini, yurispredensi menjadi salah satu sumber hukum yang secara prinsip merupakan bagian dari system negara common law. Kehadiran Omnibus Law di Indonesia seharusnya dapat disambut positif dalam menciptakan tatanan berhukum yang lebih progresif dan humanis. Apalagi jika melhat negara-negara common law seperti Amerika Serikat dan Selandia Baru justru menciptakan prestasi melalui penerapan konsep Omnibus Law.
Sebenarnya konsep Omnibus Law juga sudah pernah digunakan Indonesia, seperti dalam aturan Pemilihan Umum, dimana keberadaan UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menjadi penggabungan dari tiga (3) UU yakni UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, serta UU Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Langkah Presiden dan DPR-Ri menyatukan UU Pemilu tersebut untuk menciptakan penyederhanaan regulasi, sehingga kegiatan Pemilu dapat berjalan efektif dan efisien. Sementara hingga saat ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak aturan, bahkan tercatat hingga mencapai 62 ribu regulasi. Padahal, kesuksesan suatu negara tidak dapat dinilai dari banyaknya regulasi yang dirumuskan, tetapi sejauh mana efektivitas dan efisiensi aturan tersebut dapat dijalankan dan dipatuhi masyarakat, sehingga mempu mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat (walfare sociaty) Indonesia.
Langkah pemerintah dalam mengadopsi konsep Omnibus Law seharusnya tidak menjadi topik yang berpolemik karena pada prinsipnya, kebijakan tersebut menjadi langkah terobosan revolusi hukum dalam penciptaan lapangan kerja serta pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), dimana penyederhanaan regulasi tersebut diharapkan dapat berimplikasi pada sektor investasi dan perizinan di Indonesia..
Masyarakat Indonesia seharusnya dapat berharap besar pada Omnibus Law untuk memberikan solusi terhadap tumpang-tindihnya regulasi, rumitnya birokrasi, serta membentuk harmonisasi aturan hukum perundang-undangan yang selama ini belum berjalan efektif, sehingga dapat berkontribusi bagi pembangunan ekonomi negara dan masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H