Tim Nasional Sepak Bola Indonesia telah menempuh perjalanan panjang di babak 3 Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Indonesia akan menghadapi lawan - lawan tangguh, seperti Arab Saudi, Australia, dan Jepang. Ada beberapa hal yang dapat disoroti dari Timnas Indonesia, salah satunya banyaknya pemain diaspora yang bermain di klub - klub sepak bola eropa.
Pemain diaspora dapat diartikan sebagai pemain sepak bola yang tinggal di luar negeri dan memiliki keturunan Indonesia. Syarat masuknya pemain diaspora bergabung dalam timnas adalah sudah menjadi WNI dan memiliki garis keturunan maksimal generasi ketiga sesuai dengan regulasi Fifa. Dengan kata lain, pemain diaspora harus memiliki darah Indonesia dari kakek atau nenek yang pernah menjadi bagian dalam negara Indonesia.
Adanya pemain diaspora ini pun membuat banyak pemain kelahiran Indonesia yang dicoret dari timnas karena masih kalah secara kualitas dari pemain diaspora yang terbiasa bermain di liga eropa sejak usia belia.
Hal ini disebabkan oleh sistem sepak bola Indonesia yang belum bisa menampilkan level sepak bola yang kompetitif dan berkualitas. Beberapa hal yang menyebabkan hal ini terjadi adalah teknik sepak bola yang belum diajarkan dengan baik di SSB, mindset pelatih dan pemain yang cenderung mengutamakan kemenangan sejak dini daripada bermain sepak bola indah.
Bagaimana klub - klub lokal ingin bermain sepak bola indah apabila teknik pemainnya belum diajarkan dengan baik di SSB? Pada akhirnya klub - klub lokal kebanyakan hanya memainkan permainan sepak bola monoton yaitu mengutamakan kemampuan berlari, passing jauh, dan keberuntungan saja. Maka tidak heran, pada pentas turnamen liga antar klub asia (Asia Champion League), klub - klub lokal banyak yang tidak bisa melaju jauh karena kalah secara permainan melawan tim - tim asia lain.
Hal ini sangat kontras dengan apa yang ditampilkan oleh sistem pendidikan sepak bola di eropa. Klub - klub sepak bola eropa telah memberlakukan sistem pendidikan sepak bola sejak usia dini. Sebagai contoh di negara Belanda pendidikan sepak bola telah dimulai sejak umur 7 tahun.
Pemain yang sudah berumur 12 tahun saja sudah sangat sulit masuk ke dalam sekolah sepak bola karena kalah dengan anak yang sudah dididik di usia yang lebih muda. Sistem sepak bola negeri kincir angin telah mengajarkan teknik dan strategi secara matang dari pemain berusia muda.
Mereka mengajarkan pemain muda cara membangun serangan dari passing - passing antar pemain dan tidak banyak menggiring bola sendiri. Apabila membandingkan dengan kualitas pembinaan usia muda di Belanda, pada usia belia, pemain sepak bola Indonesia bermain bola untuk sekadar bersenang - senang bersama teman, berbeda dengan Belanda yang sudah sangat serius mengembangkan pemain muda.
Selain itu, sepak bola Indonesia membiasakan pemain untuk menggiring bola terlalu lama dan hanya mengutamakan passing jarak jauh dan berlari. Tidak bisa dipungkiri, tendangan jarak jauh (long ball) dan berlari menjadi salah satu aspek penting dalam permainan sepak bola. Akan tetapi, strategi bermain seperti ini sudah sangat biasa dan cenderung monoton.
Permainan yang monoton tidak akan bisa digunakan oleh pemain lokal untuk menghadapi pemain - pemain asing karena sudah mudah terbaca oleh lawan, apalagi melawan pemain asing yang cenderung memiliki postur tubuh yang jauh lebih besar daripada pemain lokal.
Pemain dibiasakan oleh pelatih untuk mengejar mindset menang sejak usia dini. Usia dini adalah waktu terbaik yang digunakan para pemain sepak bola untuk mencari banyak inspirasi dan gaya bermain.