Satu dekade terakhir marak marketplace daring di Indonesia. Berkawan akrab dengan IT, rasanya tak butuh waktu lama bagi developer untuk menjaring pengguna. Hal tersebut terlihat dari banyaknya start up muncul serta jumlah transaksi online yang menyentuh 13 digit angka.
Dalam gelaran harbolnas akhir tahun 2019 saja, jumlah transaksi bahkan begitu massif, yakni mencapai Rp9,1 trilliun. Padahal, target awal hanya Rp8 trilliun.
"Ah, itu kebetulan!"
Tunggu dulu. Mana mungkin ada kebetulan bernilai Rp1,1 trilliun? Atau, bisa saja memang kebetulan, ceritanya begini: seseorang membuka aplikasi marketplace saat harbolnas. Kebetulan dia melihat barang bagus. Kebetulan pula dia lagi punya banyak uang. Dan kebetulan sekali ada diskon ditambah gratis ongkir plus jaminan barang akan sampai dalam 24 jam. Kebetulan, dari seluruh "transaksi kebetulan" itu didapat nominal Rp1,1 trilliun.
Menarik, bukan?
Pengemasan dan Pengiriman, Dua Kata Angker dalam Konteks Jual Beli Kekinian
"Hai, kak. Barang kamu sedang dalam pengiriman, ya. Kira-kira akan sampai dalam 2 atau 3 hari. Terima kasih telah menghubungi kami."
Begitu kata admin J&T tempo hari. Saya menghubungi hotline bukan karena barang tak kunjung sampai. Melainkan saya yang tidak sabaran menunggu hadiah dari salah satu teman di Jakarta.
Selama menggunakan jasa J&T, saya belum pernah mengalami keterlambatan. Justru, ketika saya memperkirakan barang akan sampai besok, kurir drop point J&T dekat rumah sudah menelpon dan memberitahu bahwa paket telah sampai.
E-Commerce praktis menggunakan layanan logistik. Sebenarnya, tanpa layanan ini, transaksi tetap bisa terjadi. Namun, dengan ketidakmampuan pengiriman, maka proses pembelian akan secara otomatis dibatalkan. Ekosistem bisnis online dirancang sebagai sistem hulu ke hilir dengan layanan pengiriman. Dengan hilangnya salah satu komponen, maka sistem akan lumpuh.
Melesatnya bisnis logistik sejalan dengan maraknya online shop. Selain berdampak terhadap pendapatan rata-rata perusahaan, tren ini turut menyumbang perbaikan ekonomi untuk jutaan mitra. Artinya, lingkaran e-Commerce dan logistik di era industri 4.0 secara tidak langsung membuka kesempatan baru bagi pebisnis maupun pelaku UMKM.
Layanan Logistik yang Sempat Lesu dan Kini Kembali Tumbuh
Segaris waktu masa tua.
Melipat masa muda dalam gerusan zaman.
Nun sorai tinggal kenangan.
Runtuh tikar digulung tuan.
Barangkali itulah sepotong kalimat yang sempat diucap bos-bos pemilik layanan logistik. Pendapatan menurun, sementara karyawan yang harus digaji banyak.
Tahun 2000-an awal bisa dibilang sebagai masa galau bagi penyedia layanan pengiriman. Orang-orang mulai jarang menggunakan surat karena kehadiran pesan singkat. Dengan layanan utama yang lesu, perusahaan mulai memutar otak supaya tetap bisa bertahan. Mulai beradaptasi dengan waktu, sejumlah layanan bahkan merilis service yang tak ada juntrungannya dengan jasa ekspedisi.
Saya melihat betul dinamika itu. Maksudnya, dengan tutupnya beberapa layanan di kota saya, rasanya cukup untuk menggambarkan turbulensi yang terjadi saat itu. Hingga kemudian e-Commerce mengubah cara orang berbelanja.
Tahun 2010-an, mulai muncul start up marketplace. Satu dua berhenti beroperasi, tetapi banyak juga yang menjelma jadi raksasa hingga sekarang. Keberadaan bisnis model baru ini membawa angin segar, terutama untuk penyedia jasa hantar paket/logistik.