Lihat ke Halaman Asli

6-6-98 Pesan untuk Seorang Lulusan FE Unpar Bandung dan Kajian Amerika UI

Diperbarui: 20 Juni 2015   05:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itu bukan kode rahasia apalagi nomor togel.

Itu tanggal penting dalam kehidupan keluarga saya, 6 Juni 1998. Itu tanggal perkawinan mama dan papa. Dan kalau skenario berjalan mulus, berarti ini tahun ke-16 ultah perkawinan.

Tentu saja pada 6-6-98  saya belum hadir di dunia, masih menjadi malaikat Tuhan yang bahagia, belum mendarat di dunia dengan tangisan keras, yang menjadi simbol betapa tidak enaknya hidup di dunia ini.

Tangisan memang menjadi bagian hidup manusia, termasuk saya.  Konon,  saat saya lahir, dimulailah prahara keluarga. itulah masa sulit perkawinan kedua orangtua saya, yang akhirnya harus berpisah sekitar 7 bulan setelah kelahiran saya di dunia ini.

Saat itu saya belum mengerti, mengapa saya tidak pernah melihat papa, tidak kenal, dan tidak pernah tahu kalau ada lelaki yang seharusnya mengayomi hidup saya.

Figur ayah saya kenal melalui cerita singkat kakak saya, yang waktu perpisahaan, baru berusia 5 tahunan. Kakak  saya sudah cukup menyadari  kehadiran papa dan mama. Kakak yang menceritakan bagaimana sejak itu, papa tidak pernah kelihatan batang hidupnya.  Lelaki yang seharusnya menafkahi keluarga malah memilih kabur dari rumah dan tidak meninggalkan jejak apapun.

Setelah lumayan besar, saya baru mengetahui, seharusnya  lelaki itu bertanggungjawab penuh dalam membayar biaya hidup. Ada kok keputusan pengadilan agar dia menyetor sekian juta untuk biaya hidup saya dan kakak.  Tetapi keputusan pengadilan cuma macan kertas.

Sampai detik ini, papa yang sebenarnya cukup intelek (Dia lulusan Fakultas Ekonomi jurusan Studi Pembangunan Universitas Parahyangan Bandung stambuk 1985 dan lulusan S2 Kajian Amerika Universitas Indonesia Tahun 1995) ternyata  memilih ngemplang , tidak pernah merasa wajib membayari hidup kami.

Bukan cuma pendidikan yang baik. Konon si papa juga bekerja di lingkungan yang keren. Pernah bekerja sebagai wartawan kompas, wartawan bisnis Indonesia, kerja di WWF Indonesia Program, kemudian meloncat lagi kerja  di lembaga United Nations, WFP dan UNDP, dan LSM internasional lainnya.

Tapi ternyata pendidikan yang bagus dan lingkungan kerja yang keren, tidak mampu memberi semangat dia untuk bertanggungjawab membiayai hidup anak-anaknya.

Jadi daripada mikirin orang yang nggak mikirin kita, mending kita pikirkan hal-hal baik. Saya bersyukur memiliki mama yang sangat bertanggungjawab dan bekerja keras menghidupi kami bertiga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline