Lihat ke Halaman Asli

Andrea Wiwandhana

Digital Marketer

Tobrut: Kebanggaan yang Salah Kaprah, Jahatnya Sejarah Objetifikasi Perempuan

Diperbarui: 7 Agustus 2024   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Info Kalteng

Objektifikasi perempuan adalah fenomena yang telah berlangsung sepanjang sejarah, merendahkan nilai perempuan menjadi sekadar objek seksual. Di Indonesia, istilah "tobrut" sering digunakan sebagai bentuk pelecehan verbal terhadap perempuan. Menyebut seorang perempuan "tobrut" adalah tindakan yang tidak hanya merendahkan martabatnya, tetapi juga mencerminkan budaya seksisme yang telah lama ada.

Sejak zaman kuno, perempuan telah dijadikan objek dalam berbagai konteks sosial dan budaya. Dari mitologi Yunani yang menggambarkan dewi-dewi sebagai makhluk cantik yang harus dipuja, hingga iklan modern yang menampilkan tubuh perempuan sebagai alat pemasaran, objektifikasi telah mengakar dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam banyak budaya, perempuan dianggap sebagai milik laki-laki, baik sebagai istri, anak perempuan, atau bahkan sebagai budak.

Di Indonesia, objektifikasi ini sering tercermin dalam bahasa sehari-hari. Istilah "tobrut," yang mengacu pada perempuan dengan konotasi negatif, adalah salah satu contoh nyata bagaimana bahasa dapat digunakan untuk memperkuat stereotip dan diskriminasi gender.

Pemerintah Indonesia telah mengesahkan undang-undang yang bertujuan untuk melindungi perempuan dari pelecehan. Dalam Pasal 29 ayat 1 UU ITE, disebutkan bahwa tindakan menghina atau merendahkan seseorang, termasuk dengan menyebutkan kata "tobrut," dapat dikenai hukuman penjara hingga 6 tahun atau denda hingga 1 miliar rupiah. Namun, kenyataannya, undang-undang ini seringkali tidak efektif karena banyak korban yang enggan melapor akibat rasa malu atau takut akan stigma sosial.

Ironisnya, meskipun undang-undang sudah ada, korban pelecehan sering kali merasa enggan untuk melapor. Rasa takut akan reprisal, malu, dan kurangnya kepercayaan pada sistem hukum membuat banyak korban memilih diam. Selain itu, budaya patriarki yang kuat sering kali membuat korban merasa bahwa pelecehan yang mereka alami adalah hal yang wajar atau bahkan salah mereka sendiri.

Yang lebih mengejutkan adalah adanya sebagian perempuan yang merasa bangga ketika disebut "tobrut" karena mereka melihatnya sebagai tanda perhatian atau daya tarik. Fenomena ini mencerminkan bagaimana objektifikasi telah begitu dalam merasuki pikiran masyarakat, hingga membuat korban pelecehan merasa bangga atas diskriminasi yang mereka alami.

Untuk mengatasi masalah ini, pendidikan dan kesadaran masyarakat sangat penting. Masyarakat perlu diajarkan tentang dampak negatif objektifikasi dan pentingnya menghormati perempuan sebagai individu yang memiliki nilai dan martabat yang setara dengan laki-laki. Kampanye publik dan program pendidikan harus terus digalakkan untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap perempuan.

Perjuangan untuk menghentikan objektifikasi perempuan tidaklah mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Dengan kesadaran kolektif dan upaya bersama, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara. Hukum harus ditegakkan dengan tegas, dan korban pelecehan harus didukung untuk berani melapor tanpa rasa takut atau malu.

Objektifikasi perempuan adalah masalah serius yang harus diatasi dengan pendidikan, kesadaran, dan penegakan hukum yang tegas. Istilah seperti "tobrut" hanya memperkuat diskriminasi dan seksisme yang telah mengakar dalam budaya kita. Dengan upaya bersama, kita dapat menciptakan dunia yang lebih menghormati dan menghargai perempuan sebagai individu yang memiliki hak dan martabat yang setara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline