Sunk-cost fallacy, atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai "kesalahan biaya tenggelam" (aneh ya), adalah kesalahan berpikir di mana seseorang terus berinvestasi dalam suatu proyek, usaha, atau keputusan karena mereka sudah mengeluarkan banyak biaya atau usaha di masa lalu, meskipun keputusan untuk melanjutkan tersebut tidak rasional. Fenomena ini terjadi ketika keputusan di masa lalu yang tidak dapat diubah mempengaruhi keputusan di masa depan, padahal seharusnya tidak perlu begitu.
Manusia cenderung sulit menerima kerugian. Secara psikologis, mengakui bahwa investasi waktu, uang, atau usaha yang telah dikeluarkan menjadi sia-sia sangatlah menyakitkan. Oleh karena itu, banyak orang memilih untuk tetap bertahan dengan harapan dapat membalikkan keadaan, meskipun data atau situasi menunjukkan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi.
Contoh Kasus: Perong dan Bisnis Restoran
Perong adalah seorang pengusaha yang memutuskan untuk membuka restoran mewah di pusat kota. Dia menginvestasikan banyak uang untuk dekorasi, staf berkualitas, dan pemasaran besar-besaran. Namun, setelah satu tahun, restoran tersebut tidak menghasilkan keuntungan dan pelanggan tetap sangat sedikit. Perong merasa frustrasi dan mulai mempertimbangkan untuk menutup restoran tersebut.
Namun, karena Perong telah menginvestasikan begitu banyak waktu, uang, dan emosinya ke dalam restoran itu, dia merasa sulit untuk menyerah. Dia terus mengeluarkan lebih banyak uang untuk promosi tambahan dan renovasi, berharap untuk menarik lebih banyak pelanggan. Teman-temannya dan konsultan bisnis telah menyarankan untuk menutup restoran dan memulai sesuatu yang baru, tetapi Perong tetap bersikeras.
Tiga tahun berlalu, dan Perong akhirnya bangkrut. Biaya operasional yang terus meningkat dan pendapatan yang tidak memadai membuatnya tidak bisa lagi mempertahankan usahanya. Jika Perong tidak terjebak dalam sunk-cost fallacy, dia mungkin sudah beralih ke usaha lain yang lebih potensial setelah tahun pertama yang sulit.
Bagaimana Menghindari Sunk-Cost Fallacy?
Evaluasi Kembali Keputusan: Lakukan evaluasi rutin terhadap keputusan besar. Tanyakan pada diri sendiri apakah keputusan tersebut masih rasional berdasarkan kondisi saat ini, bukan masa lalu.
Pisahkan Emosi dari Logika: Cobalah untuk melihat situasi dari perspektif orang luar yang tidak memiliki keterikatan emosional. Kadang-kadang, pendapat dari pihak ketiga dapat membantu.
Fokus pada Masa Depan: Alih-alih terjebak pada apa yang telah diinvestasikan di masa lalu, fokuslah pada potensi keuntungan dan kerugian di masa depan. Pertimbangkan apa yang terbaik untuk jangka panjang.