Lihat ke Halaman Asli

Andreas F Siahaan

Mahasiswa STT HKBP Pematang Siantar

Bahasa yang Menggogoti Ibadah dalam HKBP

Diperbarui: 28 November 2022   11:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibadah Gabungan Remaja & Naposobulung HKBP Se-Distrik XXVIIIDeboskab. dokpri

Maraknya perkembangan teknologi, baik dunia nyata maupun dunia maya tidak terlepas dalam pengaruh bahasa yang semakin berkembang sesuai dengan zamannya. Beragam kata-kata baru muncul khususnya dari kalangan para pemuda guna mengungkapkan ekspresi mereka melalui media sosial kepada khalayak ramai, yang selanjutnya merebak hingga digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang disebut dengan, bahasa gaul. Seperti kata "baper" yang hampir semua kalangan mengetahuinya, yang merupakan singkatan dari "bawa perasaan" yang biasa ditujukan kepada orang-orang yang mudah menunjukkan emosinya terhadap hal-hal yang tidak semestinya direspon dengan emosi yang berlebihan.

Tanpa disadari, hal ini merupakan fenomena berbahaya bagi pertumbuhan agama-agama di Indonesia. Dalam lembaga gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam membangun HKBP. Ini mengindikasikan bahwa saat ini, HKBP sedang dalam tantangan global dalam penggunaan bahasa Batak yang saat ini mulai terkikis seiring berkembangnya zaman. Terlebih para kawula muda atau naposobulung HKBP yang saat ini mulai diperhadapkan dengan bahasa gaul tersebut, membuat esensi ibadah dalam HKBP mulai berkurang.

Bahasa Batak yang digunakan dalam peribadahan pun mempengaruhi pemikiran naposobulung bahwa ibadah dalam bahasa Batak hanya diikuti oleh orang tua saja yang mengerti bahasa Batak, lalu mereka beribadah dalam ibadah yang menggunakan bahasa Indonesia. Dalam praktik ibadah, lagu-lagu yang seharusnya dinyanyikan dari Buku Ende HKBP, digantikan dengan lagu-lagu rohani yang umumnya lebih disukai oleh para naposobulung agar mereka mau beribadah di gereja, karena bahasa yang digunakan juga cenderung lebih mudah dimengerti oleh anak muda. Jika diperbandingkan dengan lagu-lagu Buku Ende HKBP yang menggunakan bahasa Batak, baik dari segi bahasa maupun sejarah yang notabenenya lagu-lagu Buku Ende HKBP merupakan karangan lagu yang sudah sangat lama, lagu tersebut dianggap menjadi formalitas dalam suatu ibadah sehingga dianggap tidak meningkatkan gairah untuk menyanyikannya karena naposobulung tidak mengerti arti daripada lagu tersebut.

Jika berangkat keluar dari mindset naposobulung, Bahasa Batak pada dasarnya merupakan terjemahan langsung dari bahasa asli Alkitab yaitu bahasa Ibrani yang bertujuan memudahkan orang Batak memahami firman Tuhan dengan lebih mudah dan relevan dengan sikon yang terdapat dalam budaya Batak. Dalam Matius 19:24 tertulis, "Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah." Sedangkan pada versi Bibel Batak Toba, tertulis, "Lam dohononHu do tu hamuna: Gumabur do bongotan ni gaja pinggol ni jarum, unang halak na mora masuk tu harajaon banua ginjang i." Dari segi perumpaan, versi bahasa Indonesia menggunakan kata "unta" yang merupakan hewan yang banyak hidup di Arab Saudi, sedangkan pada versi Batak Toba, digunakan kata "gaja" agar memudahkan orang Batak mengerti ayat tersebut karena gajah merupakan hewan yang banyak hidup di daerah Sumatera Utara.

Seharusnya, gereja dapat menggunakan pendekatan dalam bahasa Batak Toba terhadap naposobulung HKBP melalui ibadah yang dilaksanakan dengan membahas masalah yang relevan dengan anak muda namun tetap memakai bahasa Batak sehingga para naposobulung nantinya dapat lebih mudah memahami firman Tuhan dalam bahasa Batak, sehingga esensi beribadah dalam HKBP  dapat terjaga khususnya menggunakan bahasa Batak Toba.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline