[caption id="attachment_291706" align="aligncenter" width="780" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] Jika menteri dalam negeri tidak atau masih saja tidak merasa salah atau malu atas sarannya kepada Jokowi untuk memindahkan Lurah Lenteng Agung Susan Jasmine Zulkifli karena penolakan segelintir orang, maka dapat saya pastikan bahwa Sang Menteri sudah tidak memiliki rasa malu. Saran dari seorang menteri mestinya menyuruh para jajaran pemerintah di bawahnya untuk taat pada undang-undang, bukan malah mengeliminir dan menggantinya dengan kepentingan yang lain. Hingga saat ini, saya masih mempertanyakan bagaimana rekam jejak menteri yang satu ini selama menjabat sebagai Bupati Kabupaten Solok, Sumatera Barat, selama dua periode dan kemudian berlanjut menjadi Gubernur Sumatera Barat selama empat tahun sebelum akhirnya dia terbang ke Jakarta meniggalkan kursi gubernur Sumbar untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, Menteri Dalam Negeri. Adalah PAN yang secara resmi telah menyatakan dukungannya kepada Gubernur DKI untuk tetap mempertahankan lurah cantik berusia 43 tahun ini. Padahal, sebagaimana kita ketahui bahwa PAN adalah termasuk partai yang berseberangan dengan Jokowi yang didukung PDI-P dan Gerindra karena masing-masing mengusung calonnya. Namun, untuk kali ini, PAN telah betul dalam mengambil sikap. Selain menohok Mendagri, sikap dari DPP PAN ini juga sekaligus menohok Amien Rais yang selalu tidak bisa tenang dan damai hati dengan Jokowi. Entah alasan apa, hingga saat ini tidak ada yang bisa menjelaskan secara gamblang. Ada berita yang mengatakan bahwa Amien Rais bersikap rasis (SARA) terhadap Jokowi karena wakilnya yang seorang keturunan China dan dari agama minoritas pula. Tetapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa sikap rasis Amien Rais tersebut adalah karena rasa irinya kepada Jokowi karena prestasinya yang tergolong cemerlang dan telah menjadi buah bibir bukan hanya buah bibir Indonesia, tetapi juga sudah menginternasional. Hal ini terbukti dari banyaknya media asing yang mengangkat profil Jokowi untuk jadi ulasannya, sebagaimana baru-baru ini dilakukan oleh media terkenal dari Negeri Paman Sam, The New York Times dan Asahi Shimbun dari Jepang, koran paling berpengaruh di negeri matahari terbit itu. Hari ini, Ketua DPP PAN Bara Hasibuan mengirimkan surat pernyataannya kepada Kompas.com untuk disiarkan. Surat yang juga ditandatangani Wakil Ketua DPD RI dan fungsionaris PAN La Ode Ida, mengatakan "Sikap tegas kedua pejabat itu secara langsung berkontribusi pada usaha untuk mempertahankan dan memperkuat kemajemukan bangsa dan semangat toleransi." Lebih lanjut, Bara mengatakan bahwa wacana pemindahan Bu Lurah itu berpotensi untuk memberikan inspirasi dan menjadi pembenaran bagi kelompok masyarakat lainnya untuk melakukan desakan mengganti pejabat publik karena adanya perbedaan keyakinan. "Pemindahan Susan dikhawatirkan dapat memberikan inspirasi dan menjadi pembenaran bagi kelompok masyarakat lainnya untuk melakukan desakan mengganti pejabat publik karena adanya perbedaan keyakinan," tambah Bara. Bukan hanya sampai di situ saja, PAN lebih lanjut malah mengkritik keras pemerintah pusat, dalam hal ini Mendagri, yang malah ingin merusak tatanan yang sudah baik. "Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, harus menghargai, bukan ikut melemahkan proses seleksi yang berdasarkan kompetensi," tambah Bara. Sikap tegas PAN dalam menjunjung tinggi pilar bernegara ini mestinya menjadi pelajaran berharga bagi para pejabat lainnya jika tidak ingin malu. Jika Gamawan dan jajaran di kementeriannya masih punya rasa malu, mestinya mereka meminta maaf. Sikap dan kritik keras dari Ahok kepada Mendagri semestinya sudah merupakan tamparan keras. Sayangnya, baik Mendagri maupun jajaran di bawahnya bukannya meminta maaf, tetapi malah menyerang Ahok, seperti yang dilakukan oleh Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Umar Syadat Hasibuan, sebagaimana dituliskannya di akun twitter-nya. Walaupun sama-sama Hasibuan, namun sikap dari Staff Khusus Mendagri ini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Bara Hasibuan, ketua DPP PAN. Tak bisa disangkal bahwa "perhatian" dari Mendagri Gamawan Fauzi terhadap kasus yang masih teramat kecil ini telah menjadi bumerang. Bagaimana tidak? Lha wong masih demo-demo biasa yang juga tidak jelas warga mana yang mendemo, Mendagri begitu "baik hati" menaruh perhatian atasnya. Padahal, masih banyak hal lain yang justru mendesak untuk diperhatikan, seperti misalnya masalah di Aceh yang tidak selesai-selesai, dan lain sebagainya. Komnas HAM dan DPR RI pun bersuara mendukung Jokowi - Ahok agar tidak tunduk pada permintaan dari segelintir pendemo tersebut. "Negara kita adalah negara Pancasila, negara yang sangat plural. Jadi agama bukan menjadi patokan untuk seorang pejabat negara. Apa pun agamanya, jika kinerjanya memuaskan, sah-sah saja. Negeri ini harus belajar untuk tidak memasukkan isu-isu yang di luar dari penilaian," kata Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Roichatul Aswidah Rasyid. "Tidak boleh pemerintah kalah oleh urusan-urusan yang tidak ada kaitannya dengan pemerintahan," kata anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Arif Wibowo. "Gubernur harus menjelaskan, berkomunikasi dengan warga untuk mendudukkan perkara. Lurah Susan juga mesti ambil inisiatif mengajak warga duduk bersama. Biar masalah itu diselesaikan pemda, tidak perlu pusat turut campur," pungkasnya. Lalu, bagaimana Pak Amien dan Pak Gamawan, masihkah Anda bersuara sumbang kepada dua pemimpin ini? Banyaknya dukungan kepada mereka adalah bukti bahwa mereka bekerja dengan benar sesuai dengan undang-undang. Jika meraka bekerja sektarian, maka hancurlah Indonesia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H