Lihat ke Halaman Asli

Branchless Banking & Financial Inclusion

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Telah dimuat di Harian Kontan 7 Oktober 2014

Oleh: Andreas Hassim, praktisi dan pengamat perbankan, bekerja pada salah satu Bank BUMN

Sejalan dengan perlambatan ekonomi domestik perkembangan perbankan nasional pun mengalami perlambatan. Namun demikian, perbankan diharapkan dapat terus meningkatkan perannya terhadap perekonomian nasional yang saat ini tingkat kedalaman atau rasio kontribusi kredit perbankan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun 2013 hanya di level 36.55%. Oleh karena itu, perbankan bersama-sama regulator perlu berinovasi mengembangkan produk dan layanan yang dapat menyerap setiap kegiatan ekonomi (financial inclusion) penduduknya sesuai dengan karakteristiknya.

Sebagaimana diketahui bahwa hanya sekitar 30% atau sekitar 75 juta penduduk yang memiliki rekening bank dari 250 juta penduduk di republik ini. Padahal, penetrasi telepon selular pada akhir 2012 saja sudah mencapai 255 juta telepon selular yang beredar. Terlihat jelas bahwa penetrasi perbankan tidak secepat dan se-agresif telepon selular. Seyogianya, perbankan mampu membaca fenomena ini untuk menciptakan produk atau layanan yang sesuai dengan dinamika yang berkembang di tengah masyarakat.

Selain itu, iklim likuiditas ketat (tight money)yang disebabkan oleh fundamental makro domestik yang defisit fiskal dan defisit neraca perdagangan serta kebijakan pengetatan likuiditas di Amerika Serikat menyebabkan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh lambat di level 11,61% year on year (yoy) pada Juli 2014 sedangkan tahun lalu pertumbuhan DPK mencapai 13,61% yoy dan kredit pun hanya tumbuh 15.59% yoy padahal tahun lalu dapat mencapai 21.79%. Selain itu, rasio pinjaman terhadap DPK atau Loan to Deposit Ratio (LDR) telah mencapai 92.19%di bulan Juli 2014 ini yang juga sudah melampaui batas atas 92% yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Kondisi tidak biasa ini perlu disikapi dengan langkah-langkah out of the box yang salah satunya mengoptimalkan pengembangan bisnis branchless banking kepada masyarakat yang belum berbank (unbanked). Survey yang dilakukan oleh MasterCard menunjukan bahwa indeks financial literacy penduduk kita berada di nilai 59 di tahun 2013 tertinggal dari Malaysia 70, Singapura 72, Thailand 68 bahkan Vietnam 63. Padahal jika melihat Jakarta, segala macam fasilitas produk dan layanan perbankan tidaklah kalah dengan negara paling maju sekalipun. Ketidakmerataan pembangunan menyebabkan beberapa lokasi masih tertinggal jauh dari pusat-pusat perekonomian domestik. Maka, peran perbankan diharapkan mampu mempersempit jurang tersebut.

Cerita Sukses Branchless Banking di Beberapa Negara Berkembang

V. Kasturi Rangan dan Katharine Lee pernah menulis dalam Harvard Business Case di tahun 2012 mengenai keberhasilan praktik branchless banking melalui mobile banking untuk melayani masyarakat yang belum berbank seperti halnya produk WIZZIT di Afrika Selatan, M-PESA di Kenya, Smart Money dan GCash di Filipina. Perkembangan bisnis branchless banking ini berawal dari kemampuan membaca karakteristik masyarakat yang belum berbank tersebut. Sebagai contoh mereka tidak ingin berinteraksi dengan bank dikarenakan konotasi formal yang melekat pada bank padahal mereka membutuhkan layanan perbankan. Produk-produk di atas memanfaatkan penetrasi telepon selular yang agresifdengan menyediakan layanan perbankan melalui aplikasi sederhana di telepon selular. Rekening bank yang terhubung dengan nomor telepon selular mampu menyerap kebutuhan para nasabah yang sebelumnya tak tersentuh layanan perbankan.

Dalam tulisan tersebut, dapat disarikan bahwa ada empat kunci keberhasilan produk atau layanan branchless banking. Pertama, fleksibilitas produk dan layanan. Masyarakat yang belum berbank ini cenderung mengeluh untuk pergi ke bank dikarenakan persayaratan yang rumit dan panjang bahkan seringkali mereka malu karena ketidakmengertian mereka untuk harus melakukan apa dan bagaimana. Selain itu, angka nominal transaksi dan nominal minimal pembukaan rekening juga seringkali membuat mereka malas atau malu bertransaksi dengan bank. Oleh karena itu, diperlukan suatu aturan maupun fitur produk dan layanan yang dapat mengakomodasi potensi yang massal ini.

Kedua, menjawab kebutuhan dasar masyarakat yang belum berbank. Kebutuhan dasar masyarakat umumnya adalah dapat bertransaksi mengirim dan menerima uang, bertransaksi jual-beli, pembayaran tagihan, pembelian pulsa serta sebagai tempat menyimpan aset yang aman. Fitur layanan perbankan seyogianya bisa menjawab hal-hal di atas.

Ketiga, jangkauan layanan yang sampai ke komunitas masyarakat yang belum berbank. Masyarakat dengan akses perbankan yang terbatas dikarenakan jarak tempuh dapat menjadi kendala masyarakat belum berbank. Disamping itu, masyarakat masih enggan berkomunikasi dengan petugas bank yang mereka anggap sebagai “orang jauh” karena perbedaan cara berpakaian, cara berbicara dan lainnya. Oleh karena itu, bank perlu menyentuh komunitas-komunitas yang berada di masyarakat.

Keempat, kualitas pemasar dan kedekatan hubungan pemasar dengan masyarakat yang belum berbank. Kualitas tenaga pemasar perlu menjadi perhatian bank dalam memberikan pelayanan, informasi dan edukasi kepada masyarakat yang belum berbank tersebut. Selain itu, masyarakat masih enggan berkomunikasi dengan petugas bank yang di kepalanya adalah orang pintar dan mereka lebih akan bisa menerima jika bank menggunakan agen-agen yang juga merupakan tokoh masyarakat setempat.

Wizzit di Afrika Selatan yang dioperasikan oleh perbankan telah memiliki nasabah lebih dari 300.000 di tahun 2009, M-PESA di Kenya yang dikelola oleh perusahaan telekomunikasi sudah memiliki 9 juta nasabah di tahun 2010, sedangkan Smart Money di Filipina yang dijalankan oleh kerjasama antara bank dengan perusahaan telekomunikasi serta telah memiliki 7 juta pelanggan di tahun 2007.

Langkah Perbankan Nasional

Kondisi likuiditas ketat dengan ketidakpastian kebijakan fiskal dan moneter seperti saat ini memaksa perbankan nasional untuk lebih pro aktif berinovasi. Produk dan layanan branchless banking untuk menggarap potensi pasar unbanked yang besar dapat menjadi solusi. Selain dapat meningkatkan kinerja bank, potensi ini dapat berdampak sosial yang sangat besar yaitu pendalaman keuangan (financial deepening) yang berpotensi meningkatkan taraf hidup masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan tersebut.

Peran aktif pemerintah dan regulator dalam menyasar pasar ini menjadi sangat penting. Aturan sebagai payung hukum bahkan dapat pula sebagai insentif bagi perbankan yang mau melayani pasar unbanked ini. Investasi yang besar tentunya dibutuhkan untuk melayani pasar ini maka akan menjadi angin segar jika regulator mau memberikan kelonggaran atau insentif bagi bank pelaku bisnis ini.

Masyarakat pada umumnya maupun pelaku usaha berharap banyak kepada sektor perbankan agar tidak hanya berkinerja baik bagi pemegang saham(shareholder),tetapi juga dapat berdampak positif kepada semua pemangku kepentingan (stakeholder) termasuk masyarakat kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline