Kasus Florence Sihombing (Flo, 26) yang menulis status makian di sosial media Path saat ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan banyak kalangan. Flo tanggal 27 Agustus 2014 lalu menulis status di Sosial Media Path yang berisi hinaan terhadap warga Yogyakarta hanya kerena sedang kesal terkait ditolaknya mengisi BBM di sebuah SPBU. Dalam waktu singkat status Path Flo tersebar di media sosial lain, dan Flo mulai menerima kecaman dari para pengguna media sosial lainnya bahkan ada unjuk rasa oleh sebagian warga Yogyakarta terkait status Flo ini. Tidak sampai disitu saja, sekelompok orang yang mengatasnamakan komunitas-komunitas di Yogyakarta juga telah melaporkan Flo ke Polda DIY. Flo dilaporkan terkait dugaan tindak pidana pencemaran nama baik kelompok masyarakat pasal 27 ayat 3, 28 ayat (2) UU ITE no 11 tahun 2008 Jo pasal 310 dan pasal 311 KUHP. Tanggal 30 agustus 2014, Polda DIY pun menanggapi laporan ini dengan melakukan penggilan dan penyidikan dan hasilnya Flo yang juga Mahasiswi S2 Program Studi Kenoktariatan Fakultas Hukum UGM saat ini ditahan di Polda DIY.
Terkait kasus Flo, kita diingatkan kembali dengan keberadaan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE , yang sampai saat ini juga masih menjadi perdebatan dan sudah adanya desakan untuk dilakukan revisi. Namun sampai memakan puluhan korban, Pasal 27 ayat 3 UU ITE masih digunakan pihak kepolisian dan kejaksaan untuk menjerat pelaku pencemaran nama baik di internet termasuk media sosial.
Sebelum mengingat kasus-kasus lain dari penerapan Pasal 27 ayat 3 UU ITE, kita mencoba mengingat tentang kebebasan berpendapat di Internet.
Menurut UU RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak asasai Manusia, di bagian pengantarnya menyatakan "Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, yang oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun". Adapun di dalam pasal 14 UU tersebut, dinyatakan : "1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. 2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia."
Pasal tersebut juga tunduk dan mengacu pada UUD 1945 Pasal 28 F (Amandemen ke-2, Agustus 2000) dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB (sumber : http://www.un.org/en/documents/udhr/).
Pada Pasal 28F, UUD 1945 dinyatakan bahwa "setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggnakan segala jenis saluran yang tersedia".
Sedangkan Pasal 19, Deklarasi Universal HAM PBB, yang dideklarasikan 10 Desember 1948 menegaskan bahwa, "setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa ada batasan".
Meskipun ada jaminan untuk bebas berpendapat, berinformasi dan berkspresi, pelaksanaannya tidaklah tak terbatas, karena ada Pasal 29 ayat 2 dalam deklarasi yang sama, yaitu "dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis".
Pasal pada Deklarasi Universal HAM PBB kemudian diperkuat pada Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 16 Desember 1966, melalui pasal 19 di dalam Kovenen/kesepakatan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Pasal 19 tersebut menyatakan : "1) Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan (pihak lain). 2) Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide/gagasan apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, tulisan, cetakan, dalam bentuk karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. 3) Pelaksanaan hak-hak yang dicantumkan dalam ayat 2 pasal ini turut membawa kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal (pembatasan) ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk : a) menghormati hak atau reputasi (nama baik) orang lain, b) melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan ataupun moral umum/publik." Indonesia meratifikasi kesepakatan internasional ini pada tanggal 23 Februari 2006.
Nah, salah satu tantangan yang cukup signifikan atas kebebasan berpendapat di Indonesia, khususnya melalui internet adalah pada UU ITE pasal 27 ayat 3. Sejak UU ITE diundangkan pertama kali pada April 2008 pasal ini telah digunakan untuk menjerat lebih dari 32 kasus pencemaran nama baik (sumber : ELSAM http://www.elsam.or.id/). Selain UU ITE, KUHP juga mengkriminalkan tindakan penghinaan atau pencemaran nama baik yang juga digunakan untuk ucapan di internet termasuk status sosial media.
Isi dari UU ITE pasal 27, ayat 3 "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan san/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik". Kemudian isi dari KUHP pasal 310, ayat 1 "Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-". Dan isi pasal 311, ayat 1 "Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun."