Lihat ke Halaman Asli

Tulis Status di Path "Terganggu Takbiran", Ditangkap Polisi

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah apa yang terjadi di negeri ini. Tirani, sepertinya itu yang sedang terjadi.

Gara-gara seorang mahasiswa menulis status di Path, dia dilaporkan ke polisi dan ditangkap. Awalnya, dia menuliskan rasa terganggunya dengan takbiran Idul Adha beberapa hari lalu. Status di Path tersebut kemudian di-capture oleh seseorang dan diunggah di FB dan twitter, yang membuatnya menyebar di dunia maya. Rupanya, seseorang yang membaca status yang disebar tersebut melapor ke polisi, dan mahasiswa itu pun ditangkap.

Mahasiswa tersebut, bernama I Wayan Hery C (22), mahasiswa angkatan 2011 di Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi dan Alam (STIFA), Palu, Sulawesi Tenggara. Melihat namanya, kemungkinan dia berasal dari Bali, dan kemungkinan beragama seperti mayoritas agama Orang Bali. Kemungkinan dia memang merasa terganggu oleh takbiran yang kadang kali harus diakui, berisiknya luar biasa, ditambah petasan yang kadang membuat kaget luar biasa. Dari berbagai sumber yang saya baca, tidak jelas apa isi status Wayan di Path tersebut. Beritanya bisa di baca di sini, sini, sini, dan sini. Republika yang menurunkan beritanya dengan judul yang provokatif pun bahkan tidak menjelaskan apa yang ditulis Wayan di akun path miliknya tersebut.

Yang jadi pertanyaan saya adalah, apakah dengan mengatakan "Saya terganggu dengan Anda" maka itu adalah penghinaan? Bukankah memang ada kalanya suatu keadaan dapat merupakan gangguan? Saya sebut misalnya bedug sahur yang berisiknya kadang kelewatan. Bukan hanya memukul bedug yang mereka bawa, tetapi apa saja yang mereka lewati tidak luput dari gebukan mereka, bahkan kadang sambil membakar petasan pula. Saat puasa lalu, bahkan mobil polisi harus standby di sekitar kediaman saya karena para anak-anak tersebut terlalu mengganggu yang mana mereka membakar petasan seenaknya. Jika begitu, apakah saya salah jika saya katakan saya terganggu oleh gerebek sahur tersebut?

Demikian juga dengan saat takbiran. Takbiran, jujur saja, lebih parah lagi. Tabiran Idul Fitri lalu, mobil saya bagai diroket. Saya yang sedang menyetir pelan di jalan toll layang, "diroket" dari bawah dengan petasan. Mereka seolah menjadikan mobil-mobil di atas toll layang tersebut seperti target "roket" petasan mereka. Jika hal itu saya tuliskan di media sosial, apakah saya yang salah? Bukankah saya benar-benar terganggu dan bahkan terancam?

Menurut saya, apa yang dilakukan polisi sudah keterlaluan. Bukankah setiap orang punya hak menyampaikan keluhannya? Apakah keluhannya itu otomatis merupakan hinaan? Jangan-jangan apa yang diungkapkan oleh Wayan tersebut adalah satu kebenaran. Padahal, keluarga korban sudah langsung meminta maaf atas apa yang dilakukan oleh anaknya. Namun walaupun sudah minta maaf, Wayan masih tetap diancam pasal 156 KUHP dan denda Rp 6 miliar.

Harap kita ingat, agamanya Wayan bukanlah pendatang kemudian di negeri ini. Mereka sudah ada jauh sebelum agama lain pada masuk ke negara ini, termasuk Budha, Islam, Kristen, Ahmadiyah, dan yang terakhir Bahai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline