Ketika masih di bangku sekolah dasar, saya dan beberapa teman sangat senang untuk menonton Film Mahabharata. Saking sukanya kami dengan film tersebut sehingga membuat kami harus beberapa kali bolos sekolah untuk menyaksikannya di rumah tetangga, karena kalau tidak salah ingat film ini disiarkan oleh salah satu TV swasta pada jam sepuluh pagi.
Pada masa itu ketertarikan saya secara pribadi semata-mata karena beragam keajaiban yang ditampilkan oleh para tokohnya terutama dalam beragam senjata yang mereka gunakan. Tak jarang ketika selesai menontonnya, maka kami akan memeragakannya kembali dengan menunjukkan apa yang harus dibuat sesuai dengan peran yang ditampilkan dalam film tersebut.
Seiring perjalanan waktu, dan terlebih lagi ketika mempelajari materi kuliah tentang Filsafat Timur, saya kembali mendalami kisah Mahabharata ini, dan lagi sekitar tahun 2013-2015 kisah ini kembali ditayangkan oleh salah satu stasiun swasta dalam kualitas gambar yang lebih bagus, sehingga saya berusaha untuk menyaksikannya dari episode awal hingga akhir.
Namun berbeda dengan kesukaan pada masa anak-anak, kali ini saya menontonnya semata-mata untuk mendalami dan mempelajari beragam kebijaksanaan hidup yang ditampilkan oleh para tokohnya. Dan dalam waktu senggang, saya pun masih terus mengulang pemutarannya melalui Chanel You Tube.
Satu dari banyak kebijaksanaan hidup yang saya pelajari adalah bertalian dengan nasihat Sri Krishna kepada Guru Drona dalam perang Baratayuda.
Drona adalah Guru Kerajaan Hastinapura yang mendidik para pangeran Dinasti Kuru, yang terdiri dari seratus Korawa dan lima Pandawa. Sebagai guru, ia merupakan ahli seni pertempuran, termasuk pengendalian dewstra (senjata sakti).
Di antara para pangeran Kuru, Arjuna adalah murid kesayangannya. Akan tetapi sebelum menjadi Guru, Guru Drona telah mengalami hal-hal yang menyakitkan di masa lalu. Akan tetapi dapat dikatakan beliau belum membuang sampah-sampah pikiran masa lalu, ketika dia merasa dihina sahabatnya Drupada yang telah menjadi Raja
Sebagai seorang guru, mestinya ia paham tentang Kebenaran. Akan tetapi dia menjadi pekerja "upahan" Kerajaan Hastinapura, beliau lebih dekat ke statusnya yang "dihidupi" dari pada sebagai "pemandu". Beliau telah menurunkan derajat kebrahmanaannya menjadi pekerja yang patuh terhadap majikan. Dia melupakan tugasnya sebagai pengajar kebenaran.
Guru Drona tidak menerima Ekalaya sebagai murid, karena takut akan menjadi saingan Arjuna, putera "pemberi status" guru kepadanya. Ketika mengetahui Ekalaya mampu menjadi pemanah ahli dengan belajar di depan patung dirinya, maka dia meminta Ekalaya untuk patuh terhadap dirinya, karena telah menganggap dia sebagai gurunya. Dan, ketika Ekalaya mengiyakan, dia diminta memenuhi etika kepatuhan seorang murid untuk mematuhi apa pun perintah gurunya.
Ekalaya mematuhi perintah Drona untuk memotong ibu jarinya, sehingga dia tidak dapat menggunakan panahnya lagi.