Pada kesempatan pertama, patut kiranya mengapresiasi kebijakan presiden terpilih, Bapak Prabowo Subianto, yang telah mengubah nomenklatur lama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjadi tiga kementerian yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, dan Kementerian Kebudayaan.
Perubahan nomenklatur ini menjadi cerminan dari kajian yang tepat mengingat luasnya bidang tugas yang harus diemban. Yang berarti bahwa dengan bertambahnya nomenklatur baru berarti juga membagi beban tugas dan tanggung jawab kepada orang yang kiranya juga ahli di bidang tugasnya masing-masing.
Apresiasi kedua bertalian dengan perlakuan yang sama oleh pemerintah terhadap sekolah swasta dan sekolah negeri. Ini tampak jelas lewat pemberian dana BOS, beasiswa PIP, kesempatan PPG, guru penggerak, dan sertifikasi bagi guru-guru yang mengabdi baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta.
Apresiasi ketiga teruntuk Prof. Dr Abdul Mu'ti M.Ed selaku Menteri Pendidikan Dasar Menengah, yang pada kesempatan pertamanya telah menyatakan komitmen untuk tidak terburu-buru membuat kebijakan dengan lebih banyak mendengar aspirasi dari banyak pihak untuk kemajuan Pendidikan Dasar dan Menengah di negeri ini.
Dan kiranya amat bijak pernyataan ini mengingat banyak polemik yang terjadi selama ini di dunia pendidikan bertalian langsung dengan PPDB Zonasi, Ujian Nasional, dan PMM.
Tetapi kiranya masih ada polemik yang tidak kalah pentingnya karena ini menyangkut masa depan peserta didik dan pendidik di republik yang tercinta ini. Polemik yang sedang marak akhir-akhir ini menyangkut perlakuan yang tidak sama kepada pendidik yang mengabdi di sekolah negeri dan sekolah swasta.
Pendidik yang mengabdi di sekolah negeri diberi kesempatan yang sangat luas untuk menjadi PPPK, sedangkan pendidik yang mengabdi di sekolah swasta, ruang geraknya untuk memperjuangkan nasib agar menjadi lebih baik justru dibatasi oleh regulasi yang kiranya kurang atau bahkan tidak berkeadilan.
Ini sangat beralasan mengingat tidak semua sekolah swasta mampu memberikan penghidupan yang layak kepada para pendidik yang mengabdi di sekolah-sekolah tersebut. Dengan perkataan lain hendak dikatakan bahwa tidak sedikit pendidik di sekolah-sekolah swasta yang hidupnya kurang atau bahkan tidak layak.
Bahkan ada dari antara mereka yang hidupnya jauh dari kata layak, karena kondisi sekolah-sekolah swasta yang sangat memrihatinkan dari segi finansial, dalam mana yayasan selaku pemilik lembaga-lembaga tersebut sebenarnya tidak mampu memenuhi kesejahteraan para pendidiknya.
Kenyataan ini hendak mengatakan bahwa negara ini masih memperlakukan para pendidik di sekolah swasta layaknya anak-anak tiri di negerinya sendiri. Mereka diabaikan atau tidak diperhitungkan dari segi regulasi, atau bahkan tidak diperhitungkan sama sekali.
Ini merupakan rintihan dan jeritan hati para pendidik di sekolah-sekolah swasta yang nasibnya serba tidak menentu. Memang tidak semua sekolah swasta yang nasib para pendidiknya memrihatinkan.