Catatan Awal
Kita kiranya sepakat bahwa awal pembentukan nilai, karakter, dan masa depan anak sangat ditentukan oleh keluarga. Keluarga menjadi basic atau dasar pendidikan anak. Bagaimana anak hidup dan bermasyarakat kelak sangat ditentukan oleh bagaimana anak dididik dalam keluarga. Bila dasar pendidikannya baik, kiranya pengembanganya oleh sekolah, gereja, dan masyarakat akan baik pula.
Demikian sebaliknya, bila dasar pembentukan dan pendidikan itu "salah", kiranya pengembanganya akan mengalami masalah yang serius untuk pengarahannya ke arah yang ideal. Oleh karena itu kita dapat mengatakan bahwa wajah masyarakat di masa depan sangat ditentukan oleh bagaimana orang tua mendidik dan membentuk anak-anaknya dalam keluarga saat ini. Untuk mengerti dan mendalami tema ini, gagasan tradisional dan ajaran kristiani kiranya akan membantu para orang tua dalam mendidik anak-anaknya.
Gagasan Tradisi Masyarakat Ngada
Untuk membantu para orang tua dalam mendidik anak-anak, penulis mengambil gagasan tradisional masyarakat Bajawa. Pendidikan anak oleh orang tua dalam keluarga dikenal dengan po robha na'u maru atau po boro teto lma. Ungkapan ini secara harfiah berarti membuka mulut dan menggerakkan lidah, memberitahukan dengan jelas, dan menasihati.
Po robha na'u maru atau po boro teto lma berarti nasihat atau pengarahan yang berlaku terus-menerus setiap hari. Tugas ini pertama-tama merupakan tanggungjawab orang tua. Orang tua mendidik dan menasihati anak-anaknya setiap hari supaya dapat berkembang secara wajar dalam beragam aspek kehidupan.
Salah satu ajaran orang tua terungkap dalam nasihat untuk bekerja sebaik mungkin (ngo molo-molo). Pendidikan ini biasa diungkapkan lewat bahasa simbol, go besi bodha mawu mema pu'u da nola wodho wonga. Bahasa simbol ini berarti ketrampilan bekerja harus sudah terlatih sejak dini, layaknya sayuran jelo/besi yang sudah terasa enak ketika masih bakal buah.
Ketrampilan bekerja harus sudah tampak di rumah sendiri. Ini akan sangat berguna bagi anak yang kelak akan membangun masa depannya. Masyarakat akan memperhatikan ketrampilan kerja anak. Bila dirasa kurang/tidak membanggakan, maka masyarakatlah yang akan mencibir atau menertawainya.
Agar hal yang demikian tidak terjadi, keraplah orang tua memberikan nasihat demikian, " ae...robha ze'e wngi zua tuku dhke go sa'o teda ngata, busa dhu da bhale uta ", yang secara sederhana berarti jangan sampai di masa depan ketika masuk rumah orang, sayur saja tidak tahu masak. Kata-kata pengajaran terakhir sejalan dengan ungkapan yang mengatakan, " wuku le punu, naji le mazi, rge le gge mta pne", yang dapat diartikan berbicaralah secara terbuka dan tidak perlu dengan kemarahan yang menggebu-gebu, sebatas pintu saja.
Bentuk pengajaran juga berlaku bagi anak bagaimana seharusnya mencari dan menemukan pasangan hidup. Bertalian dengan hal ini kerap terdengar pengajaran yang berbunyi, " sizi-sizi ne'e tuka ghi, ngira-ngira ne'e bonu pidha". Ungkapan ini secara sederhana berarti perlulah memperhatikan garis keturunan dengan semua latar belakangnya. Termasuk di dalamnya pendidikan, sifat, dan karakternya.
Perlunya memperhatikan garis keturunan untuk menilik dengan saksama adanya pertalian darah atau tidak. Ini sangatlah penting karena meyangkut kepentingan seluruh keluarga dan suku, dan bukan hanya kepentingan anak-anak yang bersangkutan. Bentuk pengajaran yang serentak merupakan pengawasan orang tua terhadap anak tampak dalam ungkapan, " kna go wta, kna go nara, kna go tuka ghi bonu pidha". Petunjuk ini menggambarkan agar anak memperhatikan hubungan darah. Di sini peran orang tua adalah untuk mendampingi anak remaja menjelang usia dewasanya.