NTT merupakan provinsi yang melekat dengan stigma kemiskinan. Pos Kupang (4/1/2016) melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di NTT selama dua tahun terakhir makin bertambah. Jika pada periode 2013-2014 NTT berada di urutan keempat provinsi dengan penduduk termiskin, selanjutnya pada periode 2015-2016, angka tersebut bertambah dengan menempatkan NTT di posisi ketiga (22,01%) sebagai propinsi termiskin di Indonesia.
BPS melansir data kemiskinan di Indonesia dengan menempatkan NTT berada di posisi ketiga dari bawah sebagai provinsi termiskin. NTT hanya berada satu tingkat di atas Provinsi Papua Barat dan dua tingkat dari urutan terbawah, yaitu Propinsi Papua.
Ada beragam faktor yang bisa dirujuk untuk menyebut penyebab kemiskinan di NTT. BPS melaporkan bahwa sektor konsumsi menjadi penyumbang terbesar angka kemiskinan di NTT. Ini selaras dengan riset yang dilakukan oleh Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Kupang (PK, 4/1/2016), yang menyebut bahwa kemiskinan di NTT dimonopoli oleh sektor konsumsi, dengan penyebab utamanya karena negara tidak mampu menyediakan sumber energi yang cukup untuk masyarakat.
Selain sektor konsumsi, Harian Kompas (Selasa, 25 Mei 2010), menyajikan potret buram penyebaran korupsi di NTT sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan di NTT. Dalam artikel berjudul Gurita Korupsi di Daerah Miskin, Kornelis Kewa Ama, menyajikan beragam modus korupsi di NTT seperti mark up (24%), manipulasi (21,6%), penggelapan (20%), penyelewengan anggaran (13,6%), memperkaya diri sendiri/orang lain (10,4%), pengerjaan proyek tidak sesuai bestek (8%), dan mark down (2,4%).
Tak hanya itu saja, beberapa aspek yang kasat mata dapat menjadi faktor penyumbang kemiskinan di NTT. Ini bertalian langsung dengan pola laku masyarakat NTT sendiri. Pertama, pola hidup konsumtif. Masyarakat sangat terbiasa dalam kebiasaan enjoy life. Walaupun dengan penghasilan yang pas-passan atau dengan upaya yang tidak gampang, tetapi semuanya akan habis dalam gaya hidup dan kebiasaan makan/minum enak dan berpenampilan elok agar memperoleh pujian dari orang lain.
Kedua, berpasrah pada keadaan. Masyarakat seolah sangat terbiasa dengan kemiskinan dan menganggapnya sebagai bantal peluk penghangat tidur yang membawa mimpi indah. Situasi ini berimbas pada mental instan dimana masyarakat larut dalam kebiasaan judi dalam berbagai bentuknya dan menunggu sumbangan. Masyarakat mau hidup dalam situasi berkecukupan, tetapi tak mau berusaha serius, dan maunya dapat dengan cepat memperoleh kekayaan tanpa merasa perlu berusaha.
Ketiga, praksis adat dan agama. Tak terbantahkan bahwa praksis adat biasanya menghabiskan materi, waktu, dan tenaga yang sangat banyak. Bila merujuk pada praksis ini, masyarakat seolah terkungkung dalam sel besi yang memaksa mereka tak dapat keluar, sehingga mau tak mau harus menjalankan tradisi tersebut walaupun dalam keterbatasan.
Hal yang sama bila menilik pada "kebiasaan" pesta-pesta gereja. Tak sedikit pula biaya yang dikeluarkan untuk acara-acara keagamaan seperti tahbisan imam baru, pernikahan, komuni pertama, pembangunan gereja, dan lain-lain.
Dan yang keempat adalah rendahnya SDM. Kiranya berbanding lurus antara rendahnya SDM dengan kemampuan ekonomi masyarakat bila merujuk pada rendahnya mutu pendidikan dan ekonomi, mengingat NTT adalah provinsi terbelakang dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Analoginya adalah pendidikan bermutu melahirkan manusia bermutu, dan sebaliknya.
Bila merujuk pada realitas kemiskinan masyarakat NTT, akan kita temukan beragam dampak lanjutan sebagai efek langsung dari persoalan kemiskinan tersebut seperti tingginya angka putus sekolah, rawan pangan, gizi buruk, maraknya kasus perdagangan manusia, dan lain-lain.
Realitas ini mengharuskan sebuah upaya serius untuk penyelesaiannya. Momen PILGUB kali ini sejatinya menjadi titik awal dalam berpijak untuk perubahan yang dimaksud. Rakyat harus mengalaminya sebagai pesta perubahan menuju situasi hidup yang lebih baik di bidang ekonomi dan kesejahteraan.