Lihat ke Halaman Asli

Andreas Neke

Pegiat media sosial

"Netizen +62" dan Budaya Literasi Digital

Diperbarui: 18 Mei 2024   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://akcdn.detik.net.id/visual/2021/02/28/infografis-jempol-nyakitin-netizen-62-paling-nggak-sopan-di-asia-pasifikaristya-rahadian.jpeg?w=736&q=90

Beberapa minggu yang lalu, sekitar akhir April sampai awal Mei 2024, saya sempat menulis sebuah artikel yang kemudian saya share ke FB. Begitu luar biasa tanggapan atas postingan tersebut. Dan banyak dari komentar tersebut bernada minor.

Saya paham betul bahwa beragam komentar minor tersebut muncul karena mereka membaca judul, tetapi tidak membaca isinya secara keseluruhan. Ini membuat saya tidak cepat respons atas komentar yang ada.

Ternyata dari sekian banyak komentar yang ada, terselip satu komentar positif dari seorang sahabat. Tulisnya, "Saya kira banyaknya komentar atas tulisan saudara, karena mereka 'melihat' tetapi sebenarnya tidak 'membaca'".

Saya membalas komentarnya dengan ringan, "Demikianlah kebiasaan masyarakat kita dewasa ini".

Netizen +62

Kita sudah terbiasa dengan istilah "netizen +62". Istilah "netizen" dibentuk dari dua suku kata, yaitu "internet" dan "citizen", yang secara harfiah diterjemahkan sebagai "warga internet".

Sedangkan penggunaan +62 merujuk pada kode telepon yang digunakan Indonesia di dunia. Jadilah "negara +62" bermakna "negara Indonesia". Dan, "netizen +62" tentu merujuk pada warganet tanah air, Indonesia.

Menarik bila kita membaca tingkat literasi "netizen +62". Ternyata berada pada posisi yang rendah yakni menduduki  peringkat 62 dari 70 negara (Kemendagri, 2021). Selain itu pula, indeks literasi digital "netizen +62" pada tahun 2021 berada di level 3,49 dari skala 1-5 yang menunjukkan berada di tingkat sedang (Kominfo, 2023).

Fakta ini sejatinya menggugah kesadaran kita bersama agar menjadi lebih bijak menggunakan media sosial. Kita kiranya mencermati dan mendalami sebuah informasi dengan cermat sebelum memberi komentar atau membagikannya.

Telah banyak contoh kasus yang berbuntut hukum, yang bisa menjadi contoh pembelajaran bermedia. Ini terjadi karena lemahnya budaya literasi kita. Yang berarti kita perlu meningkatkan budaya literasi kita.

Kita perlu terbiasa membaca secara mendalam dan mencari tahu lebih lanjut sebelum memberi komentar atau men-share-kannya kepada orang lain. Ini penting untuk tidak berujung pada mempermalukan diri sendiri serta membawa diri kita sendiri kepada hal-hal yang tidak perlu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline