Dua hari ini saya seperti di rundung kegelisahan. Entah itu karena mimpi tidur semalam ataukah keadaan kampung hari itu. Awan mendung menemani seharian di kampung ini. Raut wajah malas dan cemberut berseliweran di jalan jalan. Apakah ini semacam kode hadirnya tanggal tua, hah... Aku mulai sadar. Ternyata memang tanggal tua. Bentar lagi.
Pagi itu saya membantu ayah mengirimkan ketan sambel. Ayah memang penjual ketan. Pagi itu ayah mendapat pesanan dari kenalanku yang bertempat tinggal di desa bambe. Maka dari itu saya lah yang mengirimkan pesanan tersebut. Ayah bertanya "apakah nanti kamu di kasih ongkir?". Saya jawab "iya dapat kok" jawabku dengan meyakinkan agar ayah lega. Karena ayah mengenalku sebagai orang yang tidak tega kepada orang. Beda lagi kalau orang tersebut dzolim.
Pesanan saya antar ke rumahnya. sesampai disana, saya ditanya oleh anak dari pemesan. Dia tidak tahu siapa saya, karena belum kenal. Lalu dipanggil lah mama nya. Setelah mama nya keluar, dia bertanya total harga pesanannya. Saya jawab "Rp 100.000". Lalu di berikanlah kepada saya uang seratus ribu tersebut.
Dalam hati saya, saya ingin iseng iseng menanyakan uang ongkir namun pikiran dan hati saya menolak. Saya tekankan kepada hati dan pikiran saya untuk memaksa menerima apa yang sudah saya dapat, ialah uang seratus ribu.
Sisanya Itu cukup untuk bati ayah dalam jual ketan. Saya rasa, saya tidak berhak meminta kepada ayah dari perolehan uang seratus ribu itu. Biar ayah yang menerima semua.
Meskipun ayah menawarkan bagi untung separoh buat saya namun Lebih baik Saya terima sikap legowo dan tulung menulung saja. Agar tidak rakus dan tamak. Itu niat saya.
Gresik,21 september 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H